Tadinya saya hanya mencari-cari asal-usul nama jalan di seputaran Dago,
yaitu jalan Purnawarman, Sawunggaling, Mundinglaya, Ciungwanara,
Ranggagading, Ranggamalela, Ranggagempol, Hariangbanga, Geusan Ulun,
Adipati Kertabumi, Dipati Ukur, Suryakancana, Wira Angunangun,
Ariajipang, Prabu Dimuntur, Bahureksa, Wastukancana, Gajah Lumantung,
Sulanjana, Badaksinga, Bagusrangin, Panatayuda, dan Singaperbangsa.
Tidak banyak yang saya dapat dari pencarian Google, juga tidak punya
buku referensi untuk saya dongengkan kembali. Jadi hanya saya tulis
asal-usul Sunda saja, mungkin nanti saya temukan juga dongeng atau pun
sejarah tentang nama-nama jalan di atas.
Disadur, diringkas, dipotong dan didongengkan kembali oleh saya dari situs catatan Sejarah kota Bogor. Silakan baca langsung sumbernya jika anda berminat membaca lebih detil.
Nama Sunda mulai digunakan oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397M
untuk menyebut ibukota kerajaan yang didirikannya, Tarumanagara.
Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13 ingin mengembalikan
keharuman Tarumanagara yang semakin menurun di purasaba (ibukota)
Sundapura. Pada tahun 670M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi
Kerajaan Sunda (selanjutnya punya nama lain yang menunjukkan
wilayah/pemerintahan yang sama seperti Galuh, Kawali, Pakuan atau
Pajajaran).
Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan
negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin
menghindarkan perang saudara, Maharaja Tarusbawa menerima tuntutan Raja
Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu
Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batas
(Cianjur ke Barat wilayah Sunda, Bandung ke Timur wilayah Galuh).
Menurut sejarah kota Ciamis pembagian wilayah Sunda-Galuh adalah sebagai berikut:
- Pajajaran berlokasi di Bogor beribukota Pakuan
- Galuh Pakuan beribukota di Kawali - Ciamis
- Galuh Sindula yang berlokasi di Lakbok dan beribukota Medang Gili
- Galuh Rahyang berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan
- Galuh Kalangon berlokasi di Alas Roban beribukota Medang Pangramesan
- Galuh Lalean berlokasi di Cilacap beribukota di Medang Kamulan
- Galuh Pataruman berlokasi di Banjarsari beribukota Banjar Pataruman
- Galuh Kalingga berlokasi di Bojong beribukota Karangkamulyan
- Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung beribukota Bagolo
- Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di Medangkamulyan
Tarusbawa bersahabat baik dengan raja Galuh Bratasenawa atau Sena.
Purbasora –yang termasuk cucu pendiri Galuh– melancarkan perebutan tahta
Galuh di tahun 716M karena merasa lebih berhak naik tahta daripada
Sena. Sena melarikan diri ke Kalingga (istri Sena; Sanaha, adalah cucu
Maharani Sima ratu Kalingga).
Sanjaya, anak Sena, ingin menuntut balas kepada Purbasora. Sanjaya
mendapat mandat memimpin Kerajaan Sunda karena ia adalah menantu
Tarusbawa. Galuh yang dipimpin Purbasora diserang habis-habisan hingga
yang selamat hanya satu senapati kerajaan, yaitu Balangantrang.
Sanjaya yang hanya berniat balas dendam terpaksa harus naik tahta juga
sebagai Raja Galuh, sebagai Raja Sunda ia pun harus berada di Sundapura.
Sunda-Galuh disatukan kembali hingga akhirnya Galuh diserahkan kepada
tangan kanannya yaitu Premana Dikusuma yang beristri Naganingrum yang
memiliki anak bernama Surotama alias Manarah.
Premana Dikusuma adalah cucu Purbasora, harus tunduk kepada Sanjaya yang
membunuh kakeknya, tapi juga hormat karena Sanjaya disegani, bahkan
disebut rajaresi karena nilai keagamaannya yang kuat dan memiliki sifat
seperti Purnawarman. Premana menikah dengan Dewi Pangreyep –keluarga
kerajaan Sunda– sebagai ikatan politik.
Di tahun 732M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orang tuanya.
Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian
kekuasaan antara putranya, Tamperan dan Resiguru Demunawan. Sunda dan
Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan
Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan.
Premana akhirnya lebih sering bertapa dan urusan kerajaan dipegang oleh
Tamperan yang merupakan ‘mata dan telinga’ bagi Sanjaya. Tamperan
terlibat skandal dengan Pangreyep hingga lahirlah Banga (dalam cerita
rakyat disebut Hariangbanga). Tamperan menyuruh pembunuh bayaran
membunuh Premana yang bertapa yang akhirnya pembunuh itu dibunuh juga,
tapi semuanya tercium oleh Balangantrang.
Balangantrang dengan Manarah merencanakan balas dendam. Dalam cerita
rakyat Manarah dikenal sebagai Ciung Wanara. Bersama pasukan Geger
Sunten yang dibangun di wilayah Kuningan Manarah menyerang Galuh dalam
semalam, semua ditawan kecuali Banga dibebaskan. Namun kemudian Banga
membebaskan kedua orang tuanya hingga terjadi pertempuran yang
mengakibatkan Tamperan dan Pangreyep tewas serta Banga kalah menyerah.
Perang saudara tersebut terdengar oleh Sanjaya yang memimpin Medang atas
titah ayahnya. Sanjaya kemudian menyerang Manarah tapi Manarah sudah
bersiap-siap, perang terjadi lagi namun dilerai oleh Demunawan, dan
akhirnya disepakati Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada
Banga.
Konflik terus terjadi, kehadiran orang Galuh sebagai Raja Sunda di
Pakuan waktu itu belum dapat diterima secara umum, sama halnya dengan
kehadiran Sanjaya dan Tamperan sebagai orang Sunda di Galuh. Karena
konflik tersebut, tiap Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan
tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan
demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur
dan sebaliknya. Antara tahun 895M sampai tahun 1311M kawasan Jawa Barat
diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang
pindah tempat.
Dari segi budaya orang Sunda dikenal sebagai orang gunung karena banyak
menetap di kaki gunung dan orang Galuh sebagai orang air. Dari faktor
inilah secara turun temurun dongeng Sakadang Monyet jeung Sakadang Kuya
disampaikan.
Hingga pemerintahan Ragasuci (1297M–1303M) gejala ibukota mulai bergeser
ke arah timur ke Saunggalah hingga sering disebut Kawali (kuali tempat
air). Ragasuci sebenarnya bukan putra mahkota. Raja sebelumnya, yaitu
Jayadarma, beristrikan Dyah Singamurti dari Jawa Timur dan memiliki
putra mahkota Sanggramawijaya, lebih dikenal sebagai Raden Wijaya, lahir
di Pakuan. Jayadarma kemudian wafat tapi istrinya dan Raden Wijaya
tidak ingin tinggal di Pakuan, kembali ke Jawa Timur.
Kelak Raden Wijaya mendirikan Majapahit yang besar, hingga jaman Hayam
Wuruk dan Gajah Mada mempersatukan seluruh nusantara, kecuali kerajaan
Sunda yang saat itu dipimpin Linggabuana, yang gugur bersama anak
gadisnya Dyah Pitaloka Citraresmi pada perang Bubat tahun 1357M. Sejak
peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan
kerabat keraton Majapahit.
Menurut Kidung Sundayana, inti kisah Perang Bubat adalah sebagai berikut, dikutip dari Jawa Palace:
Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana-mana. Namun sang raja belum kawin rupanya. Mengapa demikian..? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri. Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana.
Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh Nusantara sujud di hadapannya. Tetapi engkau satu, jiwanya yang senantiasa menjerit meminta pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi.
Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.
Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri tersebut akan “dihadiahkan” kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda, putri tersebut akan “di pinang” oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu peperangan besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian inti Kidung.
Tersebut negara Majapahit dengan raja Hayam Wuruk, putra perkasa kesayangan seluruh rakyat, konon ceritanya penjelmaan dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar Rajasanagara. Daerah taklukannya sampai Papua dan menjadi sanjungan empu Prapanca dalam Negarakertagama. Makmur negaranya, kondang kemana-mana. Namun sang raja belum kawin rupanya. Mengapa demikian..? Ternyata belum dijumpai seorang permaisuri. Konon ceritanya, ia menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon permaisuri inilah terdengar khabar putri Sunda nan cantik jelita yang mengawali dari Kidung Sundayana.
Apakah arti kehormatan dan keharuman sang raja yang bertumpuk dipundaknya, seluruh Nusantara sujud di hadapannya. Tetapi engkau satu, jiwanya yang senantiasa menjerit meminta pada yang kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah khabar bahwa ada raja Sunda (Kerajaan Kahuripan) yang memiliki putri nan cantik rupawan dengan nama Diah Pitaloka Citrasemi.
Setelah selesai musyawarah sang raja Hayam Wuruk mengutus untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Setelah lamaran diterima, direstuilah putrinya untuk di pinang sang prabu Hayam Wuruk. Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.
Sepuluh hari telah berlalu sampailah di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang berkeberatan menyambut putri raja Kahuripan tersebut, dimana ia menganggap putri tersebut akan “dihadiahkan” kepada sang raja. Sedangkan dari pihak kerajaan Sunda, putri tersebut akan “di pinang” oleh sang raja. Dalam dialog antara utusan dari kerajaan Sunda dengan patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya sesuatu peperangan besar antara keduanya sampai terbunuhnya raja Sunda dan putri Diah Pitaloka oleh karena bunuh diri. Setelah selesai pertempuran, datanglah sang Hayam Wuruk yang mendapati calon pinangannya telah meninggal, sehingga sang raja tak dapat menanggung kepedihan hatinya, yang tak lama kemudian akhirnya mangkat. Demikian inti Kidung.
Sunda-Galuh kemudian dipimpin oleh Niskala Wastukancana,
turun temurun hingga beberapa puluh tahun kemudian Kerajaan Sunda
mengalami keemasan pada masa Sri Baduga Maharaja, Sunda-Galuh dalam
prasasti disebut sebagai Pajajaran dan Sri Baduga disebut oleh rakyat
sebagai Siliwangi, dan kembali ibukota pindah ke barat.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki
kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak
40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki 6 buah Jung (kapal laut
model Cina) untuk perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda
jenis Pariaman mencapai 4000 ekor / tahun).
Selain tahun 1511 Portugis menguasai Malaka, VOC masuk Sunda Kalapa,
Kerajaan Islam Banten, Cirebon dan Demak semakin tumbuh membuat kerajaan
besar Sunda-Galuh Pajajaran semakin terpuruk hingga perlahan-lahan
pudar, ditambah dengan hubungan dagang Pajajaran-Portugis dicurigai
kerajaan di sekeliling Pajajaran.
Setelah Kerajaan Sunda-Galuh-Pajajaran memudar kerajaan-kerajaan kecil
di bawah kekuasaan Pajajaran mulai bangkit dan berdiri-sendiri, salah
satunya adalah Kerajaan Sumedang Larang (ibukotanya kini menjadi Kota
Sumedang). Kerajaan Sumedang Larang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun
Adji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh
dipindahkan kembali ke Pakuan Pajajaran, Bogor.
Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang
pesat di bidang sosial, budaya, agama (terutama penyebaran Islam),
militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608,
putranya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata / Rangga Gempol I atau
yang dikenal dengan Raden Aria Suradiwangsa naik tahta. Namun, pada saat
Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620M Sumedang Larang
dijadikan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan
statusnya sebagai ‘kerajaan’ diubah menjadi ‘kabupaten’.
Sultan Agung memberi perintah kepada Rangga Gempol I beserta pasukannya
untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan
sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede. Hingga suatu
ketika, pasukan Kerajan Banten datang menyerbu dan karena setengah
kekuatan militer kabupaten Sumedang Larang diberangkatkan ke Madura atas
titah Sultan Agung, Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan
Banten dan akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan
Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan
selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur. Sekali lagi, Dipati Ukur
diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram untuk
menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta) yang pada
akhirnya menemui kegagalan. Kekalahan pasukan Dipati Ukur ini tidak
dilaporkan segera kepada Sultan Agung, diberitakan bahwa ia kabur dari
pertanggungjawabannya dan akhirnya tertangkap dari persembunyiannya atas
informasi mata-mata Sultan Agung yang berkuasa di wilayah Priangan.
Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan
kembali untuk memerintah di Sumedang, sedangkan wilayah Priangan di luar
Sumedang dan Galuh (Ciamis) dibagi kepada tiga bagian; Pertama,
Kabupaten Bandung, yang dipimpin oleh Tumenggung Wiraangunangun, kedua,
Kabupaten Parakanmuncang oleh Tanubaya dan ketiga, kabupaten Sukapura
yang dipimpin oleh Tumenggung Wiradegdaha atau R. Wirawangsa atau
dikenal dengan “Dalem Sawidak” karena memiliki anak yang sangat banyak.
Selanjutnya Sultan Agung mengutus Penembahan Galuh bernama R.A.A.
Wirasuta yang bergelar Adipati Panatayuda atau Adipati Kertabumi III
(anak Prabu Dimuntur, keturunan Geusan Ulun) untuk menduduki Rangkas
Sumedang (Sebelah Timur Citarum). Selain itu juga mendirikan benteng
pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi dan Kuta Tandingan.
Setelah mendirikan benteng tersebut Adipati Kertabumi III kemudian
kembali ke Galuh dan wafat. Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah
menjadi Karawang karena kondisi daerahnya berawa-rawa, karawaan.
Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putra Adipati Kertabumi III,
yakni Adipati Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang, pada
Tahun 1656M. Adipati Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Panembahan
Singaperbangsa atau Eyang Manggung, dengan ibu kota di Udug-udug. Pada
masa pemerintahan R. Anom Wirasuta putra Panembahan Singaperbangsa yang
bergelar R.A.A. Panatayuda Iantara Tahun 1679M dan 1721M ibu kota
Karawang dari Udug-udug pindah ke Karawang. Stop..!! kepanjangan
ceritanya.. ^_^
Jadi nama jalan Sawunggaling, Mundinglaya, Ranggagading, Ranggamalela,
Suryakancana, Ariajipang, Bahureksa, Gajah Lumantung, Sulanjana,
Badaksinga dan Bagusrangin belum saya temukan dongeng atau sejarahnya,
sebagian kalau tidak salah ingat adalah tokoh-tokoh dalam cerita rakyat
Lutung Kasarung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar