Islam sebagai satu agama yang diyakini berasal dari Allah.Swt, sedangkan
budaya lokal (Sunda) berasal dari hasil olah karsa, karya, dan cipta
manusia Sunda hasil dari dialektika dengan realitas hidup.
Produk kebudayaan urang Sunda itu tidak sepenuhnya hasil murni
kreativitas masyarakat Sunda, tapi ada akulturasi ataupun hibridasi
dengan kebudayaan yang dibawa orang-orang di luar Sunda. Begitu juga
antara Islam dan Sunda. Keduanya akan saling memengaruhi sehingga
melahirkan ritual keagamaan dalam bingkai budaya yang me-lokal.
Agama (Islam) di tatar Sunda akan bermetamorfosa ke dalam pelbagai
bentuk, sebagai “akibat samping” dari respon, kreasi atau reaksi para
penyebar agama Islam dan kekukuhan masyarakat Sunda memegang
kebudayaannya ketika berdialektika dalam sebuah ruang-waktu yang
temporer.
Alhasil, dengan pertemuan antara Islam atau agama lain dengan realitas
kultural masyarakat etnik Sunda, lahirlah apa yang diistilahkan dengan
kearifan lokal (local wisdom) dalam beragama. Lantas, pertanyaan yang
mesti kita kemukakan pada tulisan ini, adalah: bagaimana posisi ajaran
Islam ketika tersebar di wilayah tatar Sunda..? Apakah Islam mendapat
perlawanan sengit, penolakan halus, ataukah urang Sunda berkorvegensi
dengan nilai-nilai Islam dalam merancang bangunan kebudayaannya..?
Terakhir, apakah nilai-nilai Islam “meng-ada” di tatar Sunda hanyalah
untuk menyingkirkan nilai-nilai lokal yang sebetulnya memiliki derajat
kebenaran ontologis yang sama dengan nilai-nilai agama yang berkarakter
universal, termasuk Islam..?
Akulturasi Islam dan Sunda Secara historik
Menurut Ayatrohaedi (1986), masuknya Islam ke tanah Sunda diperkirakan
pada masa Prabu Siliwangi dibawa oleh putra beliau, yaitu Prabu Ki Hyang
Sancang / kian santang yang sengaja mencari Islam (dari sejarah
inilah muncul istilah "ki sunda nu neangan islam, lain islam nu neangan"
orang sunda yang mencari islam, bukan islam yang mencari orang sunda),
sebelum Sunan Gunung Djati menguasai Banten (1525) dan Sunda Kelapa
(1527), boleh dikatakan masyarakat Sunda secara kultural bercirikan
keislaman.
Menurut Saini KM (1995), bisa diterimanya Islam dengan baik di tatar
Sunda karena secara kultural di antara keduanya (Islam dan Sunda)
mempunyai persamaan paradigma yang bercirikan platonik. Maka, tak
mengherankan jika Sunda sebagai kebudaayaan, bisa “bermanunggal ria”
dengan Islam sebagai satu agama, yang diyakini oleh para penganutnya
memiliki kebenaran-kebenaran universal. Bahasa antropologi budayanya
adalah akulturasi.
Akulturasi Islam dengan Sunda bisa dilihat dari seni yang berkembang
sampai sekarang dan masih dipraktikkan masyarakat Sunda pedesaan yang
berasal dari muslim Sunda tradisional. Misalnya seni arsitektur mesjid
yang menyerupai tiga konsep tangga kehidupan umat Sunda berbentuk
“nyuncung” sehingga masjid dikenal dengan bale nyuncung.
Selain itu, ada naskah kitab berbahasa Sunda dengan menggunakan aksara
pegon sebagai proses kreatif masyarakat Muslim Sunda, yang dahulunya
mungkin dikategorikan modern, tapi sekarang – karena ada proses
Indonesianisasi, Latinisasi dan Englanisasi – huruf pegon sebagai hasil
dari dialektika budaya Sunda dan Arab Islam, menjadi terkubur dan
menghilang; kecuali di pesantren-pesantren salaf tradisional masih ada
santri yang ngalogat dengan menggunakan aksara pegon.
Banyak ulama zaman bareto yang menyusun kitab berbahasa Sunda dengan
menggunakan aksara pegon ataupun aksara Latin, seperti yang terdapat di
dalam tradisi pesantren tradisional. Ulama atau ajeungan itu
diantaranya: KH. Ahmad Sanusi, KH Ahmad Maki bin KH Abdullah Mahfud, Rd.
Ma’mun Nawawi bin Rd. Anwar, ‘Abdullah bin Nuh, dan masih banyak lagi
yang tak bisa saya sebutkan dalam tulisan ini.
“Pupujian”, cermin kearifan orang Sunda
Dalam seni suara pun, kita pasti pernah mendengar lantunan “pupujian”
bertajuk “Anak Adam” di mesjid-mesjid atau di tajug pada masyarakat
agraris, sebagai berikut:
“Anak Adam urang di dunya ngumbaraumur urang di dunya moal lilaanak adam umur urang teh ngurangansaban poe saban peuting di kurangan.”
Kalimat “pupujian” atau “nadhoman” ini memiliki semangat profetik, yakni
betapa tidak hidup itu akan berakhir dan menyadarkan para pemuji dan
pendengarnya untuk menunaikan shalat ketika adzan telah dikumandangkan.
Ini juga mengindikasikan urang Sunda memiliki semangat egalitarianisme
dalam berinteraksi dengan masyarakat lewat cara mengajak Sunda Islam anu
Eusleum secara lemah-lembut.
Mengapa “pupujian” dilakukan setelah selesai “ngong” adzan..? Sebab,
inti hidup yang mesti direfleksikan Muslim Sunda adalah membuat hidupnya
lebih berarti dengan beribadah dan mengabdi demi tegaknya nilai-nilai
kemanusiaan melalui syair-syair yang mengingatkan kepada kematian.
Dengan mengingat kematian, maka diharapkan Ki Sunda dapat menghidupkan
kembali sakralitas Tuhan dalam kehidupan dengan tidak melanggar
tata-darigama yang sesuai dengan ajaran Agama Islam yang bernilai
universal dan bisa ditawar hingga terbeli oleh budaya lokal. Yang
terpenting, saat ini adalah memelihara agar aktivitas “pupujian” jangan
dipinggirkan dengan alasan tidak berdasarkan pada sunah Nabi.
Sebab, di dalam syair-syair pupujian tersebut kita akan menemukan bahwa
kedamaian menyebarkan ajaran Islam tidak harus dilakukan secara keras.
Bahkan, ketika saya pulang kampung ke daerah Garut, pun uwa Ajeungan
Abbas Ase memberikan “pupujian” yang menggedor hati, jiwa, rasa, dan
jasad saya untuk terus beramal saleh. Kalau tidak salah, bunyi pupujian
itu sbb:
“sanes bae yatim teh nu maot ramanasanyatana yatim nu teu berelmu teu beramalsanes kagindingan nu makean badansaliim..saliim.."
Syair dalam versi terjemahan berbahasa Sunda ini, tanpa disertai syair
berbahasa Arabnya menyadarkan saya bahwa kemajuan peradaban ditentukan
oleh ilmu dan amal. Tentunya, apabila merujuk pada “pupujian” tersebut,
selain ilmu dan amal, yang wajib dimiliki oleh muslim Sunda, adalah:
kedamaian menebarkan ajaran agama Islam.
Itulah yang saya namakan dengan Ki Sunda Islam anu sawawa! Oleh karena
itu, untuk konteks kekinian di kedalaman jati diri urang Sunda mestinya
ditanamkan kearifan dalam ngageum Agama Islam, guna menciptakan relasi
social-keagamaan yang tidak meminggirkan pemahaman keagamaan teurah Ki
Sunda yang lainnya. Ingat, bahwa Ki Sunda pun dahulu pernah jatuh hati
pada agama Hindu dan Budha.
Maka, Ki Sunda hari ini dan masa depan harus mewujud dalam wujud manusia
yang mampu menafsirkan warisan kebudayaannya dan keberagamaannya secara
arif dan bijaksana untuk kepentingan Sunda kiwari dan seluruh umat
manusia. Itulah sumbangan Sunda buat bangsa, agama, dan Negara. Bahkan,
buat dunia, lho! Wallahu a’lam..
diropea ti blog: kang Syukron