Sasmita Negeri “PRABOWO vs JOKOWI”
Oleh : Tri Budi Marhaen Darmawan

Selama kurun waktu 500 tahun semenjak kehancuran Majapahit dari bumi
Nusantara yang sempat berjaya selama kurang lebih setengah abad dari 200
tahun perjalanannya, kini sosok mahluk Nusantara yang terlahir dari
prakarsa Maha Patih Gajah Mada tengah menggeliat memasuki alam
kesadarannya. Diibaratkan seperti baru saja terbangun dari tidurnya yang
panjang terbuai frekuensi Alpha di alam ketidaksadaran. Satu dasawarsa
berjalan dari titik dimulainya Pemilu Presiden secara terbuka oleh
rakyat di tahun 2004, Nusantara mulai memasuki ranah frekuensi Beta
dimana secara berangsur masuk dalam alam kesadaran awal walau belum
sepenuhnya sadar. Di dalam periode itulah kita semua menyaksikan dan
mengalami berbagai bencana alam dan kecelakaan berskala besar, yaitu
diawali dengan bencana Tsunami Aceh, meletusnya gunung Merapi yang
kemudian disusul dengan gempa Jogja, dan berikutnya muncul bencana
semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo yang masih terus berjalan dan masih
menyisakan penderitaan bagi para korban hingga saat ini. Bencana-bencana
lainpun terus menyusul seperti gempa Padang dan tsunami Mentawai,
meletusnya kembali gunung Merapi yang banyak membawa korban termasuk
mbah Marijan, tenggelamnya pesawat Adam air dan juga Kapal penumpang
Senopati Nusantara yang hingga kini tak dapat diketemukan, jatuhnya
pesawat Sukhoi di gunung Salak, serta serangkaian bencana lain hingga
yang terakhir kemarin adalah meletusnya gunung Sinabung dan juga Kelud.
Semestinya kita semua tidak boleh melupakan segala kejadian itu.
Karena secara metafisis ada rangkaian pesan dan hakekat di balik semua
kejadian tersebut. Sejatinya kejadian alam itulah yang berulang-ulang
membangunkan kesadaran kita dengan segala kejutannya. Tapi nampaknya
kita semua masih dianggap belum sepenuhnya menyadari berbagai pesan yang
tersirat di balik kejadian-kejadian itu. Tak ada hikmah apapun yang
mampu dipetik, bahkan seringkali terlupakan setelah kejadian berlalu.
Maka dengan adanya fenomena semua gunung-gunung dalam kondisi aktif di
tataran nusantara ini mengisyarahkan bahwa alam akan masih terus
mengingatkan kita semua, terutama para elite pemimpin. Karena pemimpin
adalah representasi dari seluruh rakyatnya.

Meletusnya
gunung Sinabung di Sumatra Utara sejatinya merupakan rangkaian aksara
dewa yaitu “Sing Nang Bang Ung”. Dalam tatanan Dewata Nawa Sanga, SING =
Dewa Sangkara (barat laut), NANG = Dewa Maheswara (tenggara), BANG =
Brahma (selatan), dan UNG = Wisnu (utara). Sehingga merupakan isyarah
akan datangnya daya kesadaran yang membangunkan kekuatan jiwa raga yang
akan membawa kemakmuran. Kekuatan kesadaran setelah mengingati kembali
akan penciptaan awal termasuk menghormati kembali para leluhur nusantara
(SING). Diiring dengan daya kasih sayang dengan wujud adanya prabawa
yang mengembalikan kepada spirit yang murni yaitu kembali kepada jati
diri (NANG). Daya yang akan menyucikan atau membersihkan untuk kemudian
menciptakan suasana baru yang lebih bersih (BANG). Sehingga segala
sesuatunya menjadi tertata dengan baik dan serasa mendapati hidup baru
(UNG). Dan Sumatra Utara mengisyarahkan SOMA awaTaRA ring UTtARA yang
merujuk kepada WISNU sebagai simbol “Wahyu” yang turun.
Maka ketika gunung Sinabung di titik barat laut nusantara meletus
(lambang SING) yang arah laharnya seringkali mengarah ke arah tenggara,
kemudian disusul gunung Kelud di Kediri Jawa Timur meletus (titik
tenggara dari lokasi Sinabung). Hal ini merupakan isyarah sebagai
hakekat NANG yaitu menyapu atau membersihkan diri untuk kembali kepada
jati diri, kembali kepada asal muasal (wiwitaning/wetan/timur) Jawa
sebagai hakekat penciptaan awal yaitu ingsun (Jiwa – Jawi – Jawa). Maka
saat gunung Kelud meletus, yang paling parah terkena dampak hujan debu
vulkaniknya adalah wilayah Jogja – Solo. Hal itu memberikan pesan
berkaitan dengan gunung Merbabu – Merapi sebagai lambang hidupnya Api
Brahma (BANG), yaitu daya penyucian dan penciptaan atau wilayah kidul
(selatan) sebagai lambang Sirrullah. Di sinilah terdapat sandi “Tampak
Siring”, yaitu Utara – Selatan. Utara adalah lambang Wujudullah (tampak)
dan Selatan adalah lambang Sirullah (siring) yang bermakna bahwa yang
Sirr (rahasia) akan mewujud (nampak). Di Selatan adalah posisi gunung
Merbabu – Merapi, sedangkan di Utaranya adalah gunung Ungaran (wilayah
Semarang). Semar adalah ANG (aksara Wisnu). Maka ketika Wisnu turun
aksaranya adalah UNG. UNG arane (namanya). Sehingga sejatinya semua
perlambang itu mengisyarahkan turunnya Semar atau Sang Sabdo Palon itu
sebagai hakekat “Wahyu Keprabon (Wahyu Cakraningrat)”. Hal itu
melambangkan bahwa seorang pemimpin yang hak dan amanah haruslah yang
memiliki wahyu itu sehingga mampu mewujudkan Keselamatan dan
Kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan negara. Maka di malam Super Semar
11 Maret 2014 yang lalu gunung Selamet meletus memberikan tanda sebagai
isyarah tentang itu. Karena Semar sejatinya adalah Guru Raja yang
dilambangkan dengan para Ksatria Pandawa sebagai muridnya. Di dalam
proses kenyataannya kita semua hanya akan bisa merasakan daya-dayanya
yang muncul dalam kejadian-kejadian nyata berkaitan dengan situasi
kepemimpinan nusantara dan kondisi negeri.

Pasca pungkasan Pemilu Legislatif 9 April 2014 yang lalu, di saat ini
kita baru saja menyaksikan ephoria para elite partai yang sibuk
bermanuver menjajagi dalam pembentukan koalisi menjelang hajat Pemilu
Presiden 9 Juli 2014 yang akan datang. Dari dimensi spirit “hakekat”,
fenomena ini begitu sarat dengan perlambang berupa simbol dan asma yang
juga menyiratkan isyarah sebagai rambu pergerakan “daya” yang mengandung
“hakekat”. Tentu saja penulis memandang berdasarkan persepsi yang
selaras dengan alur segala apa dan bagaimana yang telah penulis
ungkapkan di dalam blog ini di dalam Menyibak Tabir Misteri Nusantara.
Memandang kenyataan yang bersifat sunyata (kasunyatan) sebagai upaya
memfisiskan dari yang bersifat metafisis dengan berpijak pada hakekat
kawruh / ajaran / suluk / gama ketauhidan leluhur nusantara dan juga
kenabian dalam perjalanan spiritual penulis. Sangat menarik bagi penulis
untuk menyoroti fenomena yang begitu sarat dengan simbol yang ada di
seputaran sosok capres Prabowo Subiyanto dan juga Jokowi dalam
pergerakan langkah politiknya hingga telah dideklarasikannya pencalonan
pasangan masing-masing bersama koalisi partai masing-masing. Pasangan
capres / cawapres Prabowo – Hatta Rajasa yang diusung oleh partai
Gerindra, PPP, PKS, PAN, PBB, dan Golkar, sementara di sisi lain
pasangan Jokowi – Jusuf Kalla diusung oleh PDIP, Nasdem, PKB, dan
Hanura.
Sementara itu penulis telah mengungkapkan tentang isyarah hilangnya
pesawat “Adam” Air dan juga Kapal penumpang “Senopati Nusantara” dalam
“Kontemplasi Nusantara” yang menyiratkan bahwa kita harus kembali kepada
Kesejatian Diri (Adam). Karena bangsa ini telah meninggalkan kesejatian
diri maka jiwa-jiwa Senopati Nusantara (ksatria) pun telah sirna.
Maknanya bangsa ini membutuhkan sosok pemimpin yang Adam, yang Sejati,
atau dengan kata lain sebagai isyarah akan munculnya pemimpin yang
sejati yang akan mampu memberikan teladan dan mengembalikan jiwa-jiwa
Senopati Nusantara. Ibarat hakekat perjalanan Mi’raj yang dilakukan oleh
Muhammad Rasulullah dimana sebagai lambang kesadaran untuk menuju
kepada Allah awalnya melewati langit pertama yang dijaga Nabi Adam. Adam
tanpa Hawa, bermakna kembali kepada genesis (awal mula penciptaan)
yaitu kembali kepada kesejatian tanpa hawa nafsu yang seringkali mudah
terbujuk oleh bujuk rayu setan iblis. Perlambang inilah yang pada
kenyataannya sedang kita hadapi saat ini yaitu dengan munculnya sosok
capres yang bernama Joko Widodo atau dikenal dengan Jokowi. Kalau
menurut plesetan orang jawa dikatakan : “Yo sing Joko kuwi..”.
Joko berarti sejati, atau sama maknanya dengan Jejaka / Perjaka yang
mengandung arti masih lajang belum memiliki pendamping sosok hawa. Namun
di sisi lain sosok capres lainnya yang bernama Prabowo Subiyanto dalam
kenyataannya memang benar-benar sendiri (single) sebagai lambang Adam
tanpa Hawa. Maka seseorang yang telah mencapai kesejatian (Adam)
dipastikan bersifat ksatria (berani, jujur, tegas, dan bijaksana).
Ksatria dalam arti karena terdedikasi memiliki keberanian dalam
berperang melawan dirinya sendiri yaitu melawan hawa-hawa nafsunya.
Sekarang tinggal manakah yang “Sejati” diantara dua sosok capres
tersebut ? Tentu masing-masing pembaca memiliki penilaiannya sendiri.
Setelah Jokowi dideklarasikan sebagai capres oleh PDIP, partai yang
pertama kali merapat sebagai mitra koalisi adalah Nasdem dengan ketua
umumnya adalah Surya Paloh. Penulis melihat nama Surya Paloh adalah
melambangkan pusaka SURYA PANULUH (SP) milik Gajah Mada yang dihunus
ketika mengucap Sumpah Amukti Palapa. Hanya saja persoalannya di tangan
Jokowi pusaka ini berdaya paNAS aDEM atau membuat suasana menjadi panas –
dingin. Maka jika sebuah pusaka itu hak dan sesuai dengan pemegangnya,
biasanya akan menciptakan suasana adem atau tenang bagi si pemegang
pusaka. Namun jika tidak sesuai maka suasana panas yang akan muncul dan
sangat berpengaruh bagi pemegangnya dan juga lingkungannya. Selanjutnya
setelah PKB bergabung dalam koalisi, kemudian akhirnya disusul oleh
HANURA dengan ketua umumnya adalah Wiranto. Sehingga bagi Jokowi dengan
simbol dan perlambang itu digambarkan sebagai Satria Wirang. Purna sudah
pada fase ini setelah ditetapkan pasangannya sebagai cawapres yaitu
Jusuf Kala.

Seperti apa yang telah diungkapkan di dalam tulisan “Menuju Jaman
Baru”, bahwa saat ini ke depan dalam hal kepemimpinan nusantara masih
berada di wilayah Satria Boyong Pambukaning Gapura. Berikut kutipannya :
“Seperti telah diurai dalam blog ini mengenai ramalan 7 (tujuh) Satria
Piningit yang bakal memimpin NKRI, saat ini kita berada pada masa Satria
Piningit ke 6 (enam) yaitu Satria Boyong Pambukaning Gapura. Dalam
Serat Musarar Jayabaya, kita sekarang berada pada masa “Tan kober
apepaes tan tinolih sinjang kemben” yakni lambang pemimpin yang tak
sempat mengatur negara karena direpotkan dengan berbagai masalah. Hingga
digambarkan banyak terjadi bencana dan musibah, negara dikatakan rusak
dan hukum tidak karu-karuan, dan sebagainya. Segala situasi yang terjadi
disebabkan karena bangsa ini tengah berada di puncak degradasi moral
yang sangat parah. Nampaknya sejauh ini Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono/SBY sebagai Satria BoYong tidak mampu membuka “Gapura” sebagai
prasyarat bagi Kejayaan Nusantara. Sehingga dari dimensi spiritual
misteri Nusantara, fase ini harus digenapi.”
Hal lain lagi diungkapkan : “Isyarah tentang “Kebangkitan Majapahit”
di balik fenomena Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo bukanlah berarti
bahwa kita akan kembali ke era kerajaan seperti dahulu kala. Namun dari
kacamata hakekat mengandung makna bahwa negeri ini akan menjadi
sejahtera (Sidoarjo), untuk itu semua kekotoran yang terpendam selama
ini karena sengaja ditutupi, akan ditumpas habis. Dan daya semesta akan
berjalan selaras dengan itu, sehingga tak ada seorang manusiapun yang
mampu menghalangi. Daya Kebangkitan Majapahit sebagai perlambang yang
akan mampu merubah segala carut marut yang terjadi kurun waktu ini. Hal
ini mengandung makna bahwa jika kita ingin kembali mengobarkan semangat
MAJAPAHIT, tentu kita semua harus MAu JAlan PAHIT. Dan untuk bisa MAju
dan JAya maka harus berani PAHIT. Merajut kembali Nusantara, berarti
harus kembali merajut Majapahit, yaitu menghubungkan kembali secara
hakekat mata rantai yang terputus (missing link). Keberadaan Majapahit
terakhir adalah Majapahit di Daha di bawah pemerintahan Girindrawardhana
(Dyah Ranawijaya) tahun 1486 – 1527 yang memiliki ayah bernama
Suraprabawa (Singhawikramawardhana), memerintah tahun 1466 – 1474.
Inilah isyarah di balik fenomena Semburan Lumpur Lapindo yang ada di
wilayah Daha di masa lalu, jika kita kaitkan dengan masalah kepemimpinan
nasional. Kata sandinya adalah GIRINDRAwardhana yang memiliki bapak
SuraPRABAWA. Girindra berarti Raja Gunung atau bermakna sangat kokoh dan
kuat, sedangkan Wardhana bermakna anugerah dari Sang Pencipta atau yang
menyebabkan berlebih. Sura berarti orang yang kuat memahami yang nyata
dan tak nyata (fisik dan metafisik), sedangkan Prabawa bermakna pancaran
kewibawaan atau kharismatik. Jangan memandang ungkapan ini secara
syari’at atau lahiriah yang tertulis, namun hakekat karakter pemimpin
inilah yang dibutuhkan negeri ini yang akan mampu membersihkan
“kekotoran” negeri ini. Mampu menjadi LAPINDO yang bermakna LAP adalah
kain pembersih atau Alap-Alap (penyikat) INDOnesia, sehingga mampu
membersihkan dari segala yang kotor. Karakter pemimpin inilah yang
dibutuhkan negeri ini ke depan sehingga mampu membawa bangsa ini kembali
memasuki Gapura Mas menuju Kejayaan Nusantara seperti yang telah
dirintis oleh Gajah Mada Maha Patih Majapahit ketika itu. Siapapun sosok
itu dan siapapun namanya.. Dari Majapahit kembali menuju Pajajaran,
yang pada akhirnya terwujud situasi yang sejajar diantara keberagaman
yang ada. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Tak ada diskriminasi
antara satu dengan yang lainnya dengan nafas saling menghormati, beradab
dan berkeadilan.”

Inisial Satria Boyong Pambukaning Gapura yaitu SBYPG sangatlah
identik dengan nama SuBiYanto Prabowo Gerindra. Banyak hakekat yang
menarik dari munculnya simbol-simbol sepanjang proses koalisi
partai-partai yang mendukung pencapresan Prabowo Subiyanto yang diusung
oleh Gerindra. Karena segala kejadian di dalam sebuah proses adalah
merupakan isyarah itu sendiri yang mengandung hikmah. Untuk pertama
kalinya PPP dengan ketua umumnya Surya Dharma Ali merapat berkoalisi
mendukung Prabowo setelah harus melalui perdebatan sengit di internal
PPP. Keteguhan hati Seorang Surya Dharma Ali didalam mempertahankan
kebenarannya pada akhirnya diamini segenap organ internal PPP dan
membuahkan legitimasi formal tetap mendukung Prabowo. Gerindra dengan
lambang Garuda bertemu dengan PPP berlambang Ka’bah. Penulis melihat
simbol ini sebagai isyarah istimewa tentang kepemimpinan masa depan yang
akan muncul setelah melalui era Satrio Boyong Pambukaning Gapuro dengan
perlambang “Tunjung Putih semune Pudhak Kesungsang”, yaitu pemimpin
yang berhati bersih namun masih tersembunyi. Dikatakan bahwa pemimpin
tersebut “Kadhatone pan kekalih, Ing Mekah ingkang satunggal, Tanah Jawi
kang sawiji” (Kedhatonnya ada dua, di Mekah yang satu, dan satunya lagi
Tanah Jawi). Tanah Jawi adalah Nusantara yang dilambangkan dengan
Garuda dan Mekah yang dilambangkan dengan Ka’bah. Sinergisitas hakekat
kedua simbol tersebut memiliki daya Prabawa – Surya Dharma Ali, yang
bermakna sebagai kekuatan cahaya penerang atau pencerahan dalam
pelaksanaan dharma (jalan kebenaran) seperti halnya yang diteladani oleh
Sayiddina Ali salah seorang sahabat Rasulullah Muhammad SAW. Kemudian
bergabunglah PAN dengan ketua umumnya Hatta Rajasa sebagai simbol
datangnya Matahari itu yang memberikan cahaya terang atau sebagai simbol
turunnya Amanah Nasional kepada Prabowo. RA-jasa bermakna Matahari yang
berjasa. RA = Matahari. Atau Raja-SA, SA adalah aksara dewa dari Iswara
atau Dewa Surya itu sendiri di titik Timur yang menjadi Raja
(pemimpin). Hakekatnya adalah pemimpin yang memiliki sifat seperti
Matahari, mencerahkan karena mengerti segala persoalan dengan terang
benderang dan bersifat adil serta konsisten. Sehingga dengan
ditetapkannya Prabowo – Hatta Rajasa sebagai capres dan cawapres, maka
memiliki makna bahwa Prabowo – Hatta Rajasa adalah ibarat Matahari dan
cahayanya bagi rakyat negeri ini ke depan. Berikutnya barulah kemudian
PKS bergabung sebagai simbol datangnya Keadilan dan Kesejahteraan
setelah segala sesuatunya terang benderang karena pencerahan. Ketiga
partai berbasis Islam itu kemudian disahkan dan distempel oleh PBB
dengan simbolnya Bulan Bintang sebagai lambang Islam yang satu. Ibarat
bulan dan bintang pun mencari cahayanya yang bersumber dari Matahari.
Sehingga lengkaplah segala sesuatunya dilambangkan pertemuan Matahari,
Bulan dan Bintang dengan adanya persatuan. Dan berikutnya pada
detik-detik terakhir menjelang deklarasi Prabowo – Hatta Rajasa, Golkar
yang bersimbol pohon beringin pun secara tidak terduga-duga ikut
bergabung dalam koalisi sebagai lambang pemberian legitimasi bahwa
”persatuan” itulah yang diharapkan sebagai prasyarat tercapainya
keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sebuah simbol yang luar biasa
hebatnya. Diibaratkan empat madzab Islam di Nusantara bersatu dalam
naungan Garuda (Pancasila) sebagai ideologi NKRI. Bhinneka Tunggal Ika
Tan Hana Dharma Mangrwa = Berbeda-beda namun tetap satu, tiada kebenaran
yang mendua.

Bagi penulis yang selama kurun waktu 10 tahun ini menjalani
perjalanan spiritual menembusi misteri nusantara, menganggap sangat
pentingnya simbol ”Matahari”. Karena hakekat Matahari yang disebut
dengan RA itulah yang harusnya kita tuju. RA inilah yang diperlambangkan
oleh leluhur kita dengan istilah ”Ratu Adil” yang sangat lekat ketika
kita berbicara tentang Satria Piningit, pemimpin sejati yang
dinanti-nanti. Dalam konteks ini sesungguhnya semua presiden NKRI dari
yang pertama hingga yang sekarang pun adalah Satria Piningit. Karena
sebelum mereka menjadi presiden, kita semua tidak mengetahuinya. Sama
artinya seperti yang akan menjadi Presiden NKRI 2014 – 2019 nantinya pun
kita belum bisa mengetahuinya walaupun saat sekarang ini sudah terlihat
semakin mengerucut. Sehingga siapapun yang menjadi Presiden nantinya
dia adalah seorang mantan Satria Piningit. Karena sudah tidak Piningit
(tersembunyi) lagi. Sudah muncul dan di ketahui oleh banyak orang. Hanya
saja kita akan selalu menanti yang terbaik yang benar-benar bisa
menyejahterakan seluruh rakyat, memakmurkan negeri ini dan memimpin
bangsa dengan adil dan bijaksana. Bagi yang meyakini dalam hal kehadiran
Satria Piningit dengan pijakan wasiat leluhur nusantara pun
sesungguhnya hanya mampu meraba untuk mengenali situasi keadaan jaman
dengan perlambang kepemimpinannya, yang lebih dalam akan mengenali
sandi-sandinya. Semua itu bagi yang memiliki kesadaran spiritual
dimaksudkan agar supaya tidak terjebak dalam tipu daya kehidupan, untuk
senantiasa tetap Eling dan Waspada. Apalagi yang umum terjadi banyak
yang terjebak dengan mengaku-aku sebagai Satria Piningit ataupun Ratu
Adil dengan segala versinya. Padahal sejatinya diri kita semua adalah
Satria Piningit. Untuk melakukan perjalanan menemukan jati diri kita
yaitu jiwa yang piningit itu dibutuhkan sifat ksatria, karena harus
terus menerus berperang melawan nafsu-nafsu yang ada di dalam diri dan
pantang khianat. Dan jiwa itulah Matahari yang ada di dalam setiap diri
manusia. RA itulah yang kita tuju. RA itu sejatinya adalah ”Ridho
Allah.” Illahi anta maqsudi wa ridhoka mathlubi (tujuanku hanya Allah,
dan yang kucari hanyalah Ridho Allah semata). Dengan menggapai MATAHARI
itulah kita akan memahami MA’rifat (mengenali) – TArekat (menjalani) –
HAkekat (kebenaran sejati) – RIdho Allah (MA-TA-HA-RI). Dan kemudian
akan berjalan dengan kepatuhan mengikuti tuntunan cahaya MATAHARI, yang
juga sejatinya adalah MAta HAti dalam diRI. Tentu saja semua itu
dilandasi dengan pondasi Syari’at yang tak perlu diperdebatkan lagi.
Akhirnya ”Ridho Allah” itulah yang ingin kita gapai dimana sebagai ”RATU
ADIL” pada diri kita yang berkuasa, yaitu RAsa yang saTU dalam
mengemban Amanah mengabDI secara Langgeng (istiqomah) kepada Allah.
Inilah perjalanan yang harus kita tempuh di dalam ”Jagad Cilik” kita
sebagai manusia untuk menggapai RA itu. Sedangkan untuk ”Jagad Gede”
negeri kita pun sejatinya berorientasi sama akhir yang dituju adalah RA
(Ridho Allah), yaitu melalui simbol-simbol BendeRA – NagaRA – NusantaRA.
Dimaksudkan bahwa segala sesuatu yang diupayakan dan kemudian
mendapatkan Ridho Allah akan selalu membuahkan kemanfaatan, keselamatan,
kesejahteraan dan kebahagiaan.


Isyarah lain yang mungkin lepas dari perhatian kita semua adalah
fenomena dibersihkannya Tugu MONAS pada tgl 5 Mei s/d 18 Mei 2014 di
tengah ephoria aktivitas partai-partai mencari mitra koalisi. Sehingga
ketika MONAS selesai dibersihkan, barulah kedua pasangan capres/cawapres
mendeklarasikan pencalonannya masing-masing bersama partai koalisinya.
Jadi daya-daya yang ada mengisyarahkan bahwa semuanya saja harus
menghormati MONAS dahulu hingga tuntas dibersihkan untuk menyongsong
Kebangkitan Nasional 20 Mei 2014. Maka kalau kita melihat peristiwa
pendeklarasian semua capres/cawapres beberapa waktu yang lalu sangat
sarat dengan nuansa aura Soekarno. Namun semua ini bukan kebetulan,
karena dari dimensi spiritual daya-daya beliau sudah mulai “turun”.
Persoalannya sama saja, kita dihadapkan kepada pertanyaan manakah
diantaranya yang sejati ? Dalam konteks ini penulis hanya mampu
mengungkapkan bahwa jika seandainya mereka dan semua saja memahami
Soekarno, tentu akan tahu bahwa MONAS bukan hanya sekedar monumen. Namun
lebih dalam daripada itu sejatinya MONAS adalah sebuah Simbol/Sandi
Utama Nusantara (SUN) yang sarat dengan sandi rumit yang didirikan
Soekarno dengan segala maksud dan harapannya untuk negeri ini yang belum
sempat beliau ungkapkan kepada siapapun. Hal ini sangat logis karena
ketika pembangunan Tugu MONAS belum selesai tanpa diduga muncullah
peristiwa Gestapu tahun 1965. MONAS adalah sandi Tampak Siring bagi
Nusantara. Jadi sesungguhnya bagi siapa saja yang merusak atau mengganti
simbol-simbol di seputaran MONAS termasuk bangunan bersejarah di
seputarnya bahkan nama jalannya sekalipun, bisa dipastikan bahwa mereka
sangat tidak memahami maksud Soekarno. Apakah kita semua tersadar bahwa
saat ini ada pihak-pihak yang sedang ingin menghancurkan MONAS sebagai
sebuah simbol yang memiliki Hakekat sangat tinggi ? Buktinya di
seputaran taman MONAS telah didirikan banyak patung Bunga Bangkai. Hal
itu adalah sebagai simbol bagi upaya pembangkaian dan pembusukan MONAS.
Dan apakah kita pernah berpikir dan merenung, begitu MONAS dibersihkan
serta merta ramailah pemberitaan merebaknya Virus MERS dari tanah Arab
yang berasal dari Onta. Tentu ini adalah isyarah yang sangat berkaitan
erat dengan apa yang telah penulis ungkapkan di atas bila dijabarkan.
Penulis tidak mampu berkata lebih di dalam blog ini. Semoga apa yang
penulis ungkapkan kali ini membawa manfaat dan menjadi perenungan bagi
kita semua di dalam upaya kita bersama menggapai Ridho Allah.
Salam MERAH PUTIH..
JAYALAH NEGERIKU, TEGAKLAH GARUDAKU,
JAYALAH NUSANTARAKU…

QS 13 (Ar Ra’d) : 18 -25
18. Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhannya, (disediakan) pembalasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Tuhan, sekiranya mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan itu. Orang-orang itu disediakan baginya hisab yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman.
19. Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,
20. (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,
21. dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
22. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),
23. (yaitu) syurga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;
24. (sambil mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.
25. Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).
Sumber : https://nurahmad.wordpress.com