Dalam periodisasi sejarah kebudayaan Sunda, masa-masa peralihan selalu menampilkan sisi menarik untuk dikaji lebih jauh. Tengok saja, misalnya, studi Mikihiro Moriyama tentang perubahan konfigurasi tulisan dari budaya naskah (manuskrip) ke budaya cetak di Tatar Sunda pada abad ke-19. Dalam hasil kajiannya itu dapat diperoleh gambaran bahwa pada periode tersebut terjadi ketegangan, tarik-menarik kepentingan, antara yang lama dan yang baru. Fenomena menarik misalnya ketika kegiatan membaca dengan didaraskan yang populer di Tatar Sunda waktu itu perlahan digantikan oleh kegiatan membaca dalam hati. Atau pengarang teks yang sebelumnya ‘malu-malu’ menunjukkan dirinya di era manuskrip, mulai menorehkan identitasnya yang jelas di sampul buku. Dengan kata lain, aktifitas sosial digantikan oleh aktifitas individual.
Demikian pula halnya jika kita melihat dinamika perubahan yang terjadi
pada masa yang jauh lebih lampau, ketika pengaruh Islam pertama kali
masuk ke Tatar Sunda menggantikan, di sisi lain meneruskan, tradisi
Hindu-Budha yang sebelumnya telah mengakar kuat di Tatar Sunda. Tradisi
yang penulis maksud adalah tradisi menulis (menyalin) naskah di
kabuyutan.
Pengkajian-pengkajian mutakhir atas naskah Sunda Kuna yang ditulis
diatas daun dan daluang, mulai mengungkapkan informasi bahwa
naskah-naskah itu tidak hanya berisi ajaran agama yang dianut masyarakat
Sunda Pra-Islam (sinkretisme Pribumi-Hindu-Budha), tetapi juga berisi
teks-teks Keislaman dari masa peralihan. Secara paleografis cirinya
menyolok: aksara yang digunakannya bukan aksara Arab atau Arab Pégon,
melainkan aksara Sunda Kuna. Ciri yang hampir sama juga terjadi di
Merapi-Merbabu yang memiliki khazanah naskah keislaman yang cukup kaya.
Di wilayah tersebut naskah Islam ditulis diatas lontar dengan
menggunakan aksara Buda (Setyawati dkk., 2002).
Naskah-Naskah Islam Sunda Kuno
Dari puluhan naskah Sunda Kuno yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI (PNRI),
terdapat beberapa di antaranya berisi teks-teks keislaman yang penting
untuk dikaji, meski jumlahnya tidak banyak. Teks “Carita Waruga Guru”
(CWG) yang diumumkan oleh C.M. Pleyte (1913) adalah salah satu
contohnya. Dalam sejumlah detail, kita menemukan istilah Arab yang mulai
memperkaya bahasa Sunda Kuno dalam teks, seperti istilah kitab yang
menggantikan istilah apus atau pustaka dalam naskah-naskah sebelumnya.
Atau istilah-istilah Arab yang bertalian dengan konsep keislaman yang
kuat seperti gaib (mungkin mengganti niskala?), Jamalullah (ungkapan
atas sifat-sifat Allah Yang Agung serta nama-nama-Nya yang erat akan
keindahan), dan Jabalkap (Gunung Kaf).
Dapat dipastikan bahwa penulis teks CWG beragama Islam, serta memahami
tauhid dengan baik. Hal ini terlihat jelas ketika pengarang
menggambarkan manusia di Nusa Jawa yang menyembah gunung dan
menjadikannya tempat pemujaan “Mangka urang Nusa Jawa pada su(ju)d ka
gunung antég dijieun pamujaan. Mangka katingallan ku malékat yén ruksak
umatna kabéh sujud ka kayu ka batu, mangka dipanah ku gugutuk batu.”
(Lalu orang Nusa Jawa semua sujud kepada gunung, dijadikan pemujaan.
Lalu terlihat oleh malaikat (yang menganggap) bahwa akan rusak semua
umatnya karena sujud kepada batu, lalu dipanahlah oleh bebatuan). Dari
batu-batu yang berserakan itulah, dalam pandangan pengarang, kabuyutan
tercipta. Pengarang seolah-olah ingin menegaskan bahwa batu-batu (situs)
yang terdapat di gunung adalah anak panah berupa batu yang dihujamkan
Malaikat (baca: Islam) yang marah dengan kebiasaan masyarakat Nusa Jawa
yang musyrik. Dengan menciptakan mitos ini, secara tersirat, kabuyutan
telah dilegitimasi oleh Islam.
Bukan hanya Tauhid, Syare’at pun rupanya telah dipahami oleh masyarakat
Sunda Kuna. Hal itu tampak pada salah satu teks dari kropak 421 (Undang
A. Darsa & Edi S. Ekadjati, 2004) yang berisi bacaan sholat, dengan
keunikan transkipsi dari bahasa Arab ke dalam aksara Sunda Kuna.
Umpamanya kata Arab walhamdulillah ditulis walkamdu lilahhi, attahiyat
menjadi atasiyat, dll. Teks yang berisi bacaan shalat ini didasarkan
pada risalah Kangjeng Pangeran Sumanagara. Melihat kentalnya pengaruh
bahasa Jawa (baru) pada teks ini, agaknya Pangeran Sumanagara adalah
seorang penyebar Islam di Tatar Sunda ketika Mataram menguasai Priangan.
Uniknya lagi, teks ini diawali dengan dua kalimat syahadat. Mungkin
teks ini merupakan teks tertua di Jawa Barat yang menuliskan dua kalimat
syahadat dan bacaan shalat.
Dalam kropak 413 dan 414 yang berjudul “Pakéling dan mantra” pun
diterangkan tentang bab fiqih, termasuk iman dan amal, bab halal dan
haram, makruh, sunat dan wenang. Teks ini berisi peringatan kepada
manusia yang hendak menjalankan daulat Allah. Menariknya, teksnya
sendiri ditulis dalam bentuk puisi yang terdiri dari delapan suku kata,
meneruskan tradisi lisan pantun Sunda yang telah berakar jauh sebelum
Islam masuk ke Tatar Sunda.
Islam dan Kabuyutan
Sebagaimana telah dikemukakan, teks-teks yang terselamatkan dan dapat
sampai kepada kita saat ini pada umumnya berasal dari sebuah kabuyutan
di Tatar Sunda. Untunglah ada kabuyutan Ciburuy yang masih menyimpan
naskah peninggalan karuhun. Walaupun ahli warisnya tidak dapat
membacanya, tetapi naskahnya dapat terawat melalui ritual pada bulan
Maulud.
Pada masa dahulu, kabuyutan memiliki seorang sarjana yang cukup dikenal
sebagai penyalin produktif teks-teks Sunda Kuna. Ia bernama Kai Raga.
Bukan hanya teks-teks bernafaskan Hindu Budha saja yang ditulisnya, teks
keislaman pun ditulisnya. “Tapel Adam”, teks yang mengisahkan kejadian
terciptanya alam dunia dan nabi Adam (Naskah KBG 75 koleksi PNRI) adalah
goresan dari peso pangot-nya. Hal ini menimbulkan beberapa kemungkinan.
Pertama, Kai Raga berpindah agama menjadi Islam. Kedua, Kai Raga hanya
bertugas menyalin naskah-naskah dari sumber yang lain, baik naskah
Pra-Islam maupun Islam. Ketiga, nama-nama Kai Raga itu hanyalah istilah
untuk juru tulis, yang boleh jadi merupakan orang yang berbeda. Tetapi
kemungkinan itu hanya melahirkan hipotesis belaka. Satu yang pasti, Kai
Raga dari Gunung Cikuray membuka dirinya untuk Islam.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kabuyutan pada masanya tidak
hanya difungsikan sebagai sarana pendidikan agama jaman Pra-Islam. Lebih
dari itu, kabuyutan menjadi lembaga akademis sekaligus skriptorium yang
mampu ngigelan jaman, tidak menutup dirinya pada anasir baru yang
datang dari luar, terutama Islam. Para sarjana kabuyutan seperti Kai
Raga giat menulis dan menyalin naskah, serta mempelajari segala
pengetahuan (termasuk Islam) yang tertera di atas daun lontar, gebang,
dan kertas daluang itu. Hal ini setidaknya terjadi sampai Netscher, pada
tahun 1853 memberitakan bahwa tradisi ini tidak lagi hidup di
masyarakat, dan ketika ditemukan, tidak ada seorang pun yang dapat
membacanya.
Penulis, Filolog Naskah Sunda di Perpustakaan Nasional RI