Menuju Jaman Baru Bagi Kejayaan Nusantara
Pasti kita semua masih ingat dimana saat meninggalnya Menteri
Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih pada Rabu, 2 Mei 2012. Sejatinya
kejadian itu adalah merupakan “sasmita” bagi negeri ini sebagai isyarah
berkaitan dengan perlambang sesaji jaman seperti yang tertulis di dalam
Serat Musarar Jayabaya. Perlambang sesaji yang ditunjukkan Ki Ajar
kepada Prabu Jayabaya di gunung Padang, yang membuat pada akhirnya Prabu
Jayabaya membunuh Ki Ajar dan seorang Endang (perempuan) si pembawa
ketujuh sesaji itu. Ternyata ketujuh sesaji dan Endang nya (kedelapan)
merupakan perlambang jaman-jaman yang akan muncul ketika itu, yaitu :
- KUNIR sarimpang – sebagai lambang kerajaan PAJAJARAN, dengan lambang negaranya : Sumilir naga kentir semune liman pepeka.
- JADAH setakir – sebagai lambang kerajaan MAJAPAHIT, dengan lambang negaranya : Sima galak semune curiga ketul.
- MELATI sebungkus – sebagai lambang kerajaan DEMAK, dengan lambang negaranya : Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah.
- Sebatang pohon KAJAR – sebagai lambang kerajaan PAJANG, dengan lambang negaranya : Cangkrama putung watange.
- BAWANG PUTIH satu talam – sebagai lambang kerajaan MATARAM, dengan lambang negaranya : Sura kalpa semune lintang sinipat.
- DARAH sepitrah – sebagai lambang era SOEKARNO, dengan lambang : Lung gadung roro nglikasi, dan lambang era SOEHARTO, dengan lambang : Gajah meta semune tengu lelaki.
- ENDANG seorang perempuan pembawa sesaji – sebagai lambang era GUS DUR – MEGAWATI, dengan lambang : Panji loro semune Pajang Mataram, lambang era MEGAWATI, dengan lambang : Roro ngangsu rondo loro nututi pijer tetukar, dan lambang era SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY), dengan lambang : Tan kober pepaes tan tinolih sinjang kemben.
- Kembang SERUNI – sebagai lambang jaman baru yang akan datang, dengan lambang : Tunjung Putih semune pudak kesungsang.
ENDANG dalam hal ini dilambangkan sebagai “Hawa” (sifat perempuan).
Maknanya di era dengan perlambang Panji loro semune Pajang Mataram (Gus
Dur – Megawati) hingga Tan kober pepaes tan tinolih sinjang kemben
(SBY), bangsa ini terutama para pemimpinnya terjebak berorientasi pada
hawa nafsu (kadunyan/keduniawian). Sehingga lambang Menteri Kesehatan
Endang Rahayu Sedyaningsih memberikan isyarah bahwa bangsa ini sedang
“sakit parah” (tak ada kesehatan). Sudah tak ada lagi hawa (rasa)
kesetiaan kepada Tuhan Yang Maha Kasih sehingga tak ada rasa kasih lagi
diantara sesama dan bahkan jauh ditinggalkan oleh Rahayu (hidup
selamat).
Beberapa waktu kemudian kita semua digemparkan oleh jatuhnya pesawat
SUKHOI SJJ 100 buatan Rusia di kaki Gunung Salak tepatnya di Kampung
Batu Tapak, Cidahu, Bogor pada Rabu, 9 Mei 2012. SUKHOI yang dalam
bahasa Rusia berarti “kering” (dry) memberikan isyarah kepada kita semua
bahwa segala sesuatu yang datang dari Barat (dari luar Nusantara) yang
membuat keringnya batin bangsa ini akan hancur jika kita mampu kembali
kepada leluhur (adat budaya dan ajarannya). Gunung sebagai lambang diri
manusia dan Salak (Salaka) mengingatkan kita kepada awal mula (wiwitan)
keberadaan bangsa ini sebagai anak cucu leluhur Nusantara yang mana kita
semua diingatkan pada Salakanagara (jaman Aki Tirem/Aki Luhur Mulia
sebelum keberadaan kerajaan Tarumanagara). Kekeringan batin bangsa ini
telah dilambangkan dengan kejadian meletusnya gunung Merapi jauh sebelum
ini yang membawa korban mbah Marijan yang bermakna MAtinya Rasa dan
Iman wong JAwaN (orang Jawa yang kehilangan atau melupakan Jawa nya).
Kini sudah saatnya kita semua harus kembali pada “kesadaran” untuk
kembali kepada leluhur kita sendiri, kembali pada adat budaya dan ajaran
leluhur kita yang adiluhung.
Gunung Gamalama di Maluku pun telah memberikan isyarah bahwa agar
bangsa ini bisa kembali memiliki rasa “malu” maka harus kembali pada
Gama (ajaran/sesuluk) Lama atau ajaran leluhur Nusantara. Ingatlah bahwa
“Negara Kerta Gama” yang bermakna bahwa Negara akan Berjaya (sejahtera
sentosa) bila berlandaskan Gama. Dari dimensi spiritual peristiwa
jatuhnya pesawat Sukhoi ini memberikan arah tanda panah untuk kita semua
mengingati dan merenungkan tentang Siloka (Salak/Salaka) Batu Tapak
Bogor (Purnawarman). Ada maksud dan jawaban di balik Siloka tersebut
yang tertulis : “Vikkranta Syayani Pateh Srimatah Purnawarmanah
Tarumanagarendrasya Visnoriva Padadvayam” (Ini (bekas) dua kaki yang
seperti kaki Dewa Wisnu ialah kaki yang mulia Sang Purnawarman raja di
negeri Taruma yang gagah berani di dunia). Beliau Maha Raja Tarumanegara
itu bergelar : Sri Baginda Maha Raja Purnawarman Bima Prakarma Sang
Iswara Surya Maha Purusa Jagat Pati / Raja Resi Dewa Raja Putra
Suraliman Sakti Alexandra Agung (317 M). Menarik untuk menjadi
perenungan kita semua tentang kebesaran dan keagungan beliau Purnawarman
dengan segala hakekatnya yang mengandung sandi-sandi spiritual untuk
masa kini.
Rabu, tanggal 6 Juni 2012 merupakan moment yang istimewa karena
bertepatan dengan hari kelahiran Soekarno (Presiden RI pertama) yang ke
111, ditandai dengan gerhana Venus yang transit setiap 117 tahun. Ini
merupakan pertanda masa peralihan perubahan jaman, yaitu dari jaman
Kalabendu (banyak musibah/bencana) beralih memasuki jaman Kalasuba
(kejayaan/keemasan). Masa transisi ini diisyarahkan dengan akan
munculnya keadaan dan situasi negeri yang penuh kesulitan atau kesukaran
(Sukar-ono). Bukan kebetulan masa transisi ini ditandai pula dengan
masa menjelang pergantian kepemimpinan NKRI (2012 – 2014). Isyarah hari
kelahiran Soekarno, merupakan perlambang akan munculnya pemimpin
kharismatik yang akan mampu menjawab tantangan dari segala persoalan
bangsa selama ini guna pada akhirnya akan menghantarkan negeri ini
menuju pada Kejayaan Nusantara.
Seperti telah diurai dalam blog ini mengenai ramalan 7 (tujuh) Satria
Piningit yang bakal memimpin NKRI, saat ini kita berada pada masa
Satria Piningit ke 6 (enam) yaitu Satria Boyong Pambukaning Gapura.
Dalam Serat Musarar Jayabaya, kita sekarang berada pada masa “Tan kober
apepaes tan tinolih sinjang kemben” yakni lambang pemimpin yang tak
sempat mengatur negara karena direpotkan dengan berbagai masalah. Hingga
digambarkan banyak terjadi bencana dan musibah, negara dikatakan rusak
dan hukum tidak karu-karuan, dan sebagainya. Segala situasi yang terjadi
disebabkan karena bangsa ini tengah berada di puncak degradasi moral
yang sangat parah. Nampaknya sejauh ini Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono/SBY sebagai Satria BoYong tidak mampu membuka “Gapura” sebagai
prasyarat bagi Kejayaan Nusantara. Sehingga dari dimensi spiritual
misteri Nusantara, fase ini harus digenapi. Tentu kita semua akan
bertanya apa yang dimaksud dengan membuka “Gapura” dalam konteks ini ?
Pertanyaan ini hanya bisa dijelaskan dengan uraian apa, bagaimana dan
mengapa tentang maksud di balik Surat Terbuka kepada SBY di awal
Semburan Lumpur Lapindo di bulan Agustus tahun 2006 yang lalu.
Seperti yang tertulis di dalam Surat Terbuka kepada SBY, bahwa
sejatinya Semburan Lumpur Lapindo adalah merupakan perlambang atau
isyarah munculnya daya “Kebangkitan Majapahit”. Fenomena ini memiliki
berbagai lapisan hakekat yang mengandung pesan bagi bangsa khususnya
pemimpin negeri ini. Beberapa hakekat diantaranya adalah bahwa fenomena
tersebut merupakan peringatan yang memberikan pesan, sebenarnya wilayah
semburan lumpur adalah wilayah “suci” (kabuyutan) peninggalan leluhur.
Dimana di lokasi itu sebenarnya terdapat situs “Candi Pradah” yang telah
hancur, yang dibuat oleh Mpu Baradah setelah membagi wilayah Daha dan
Jenggala di jaman Prabu Airlangga dengan tanda pemisahnya adalah sungai
Porong (diparo/diporo = dibagi). Wilayah semburan lumpur itu sendiri
berada di wilayah Daha. Isyarah ini melambangkan bahwa kurun waktu
selama ini, bangsa ini yang dilambangkan para pemimpinnya telah merusak
kesuciannya sendiri. Sehingga fenomena semburan lumpur menyiratkan sudah
saatnya “kekotoran hati” yang selama ini ditutup-tutupi mau tidak mau
harus terbuka dan ada saat tak ada lagi yang mampu membendungnya.
Hal lain yang teramat penting adalah bahwa sejatinya di tempat itulah
Maha Patih Gajah Mada melakukan upaya “ruwatan” akibat kejadian Perang
Bubat yang menimbulkan kutukan. Upaya meruwat tersebut dimaksudkan untuk
tetap mempertahankan wilayah Nusantara yang telah disatukannya walaupun
kurun waktu kemudian kerajaan Majapahit akhirnya harus hancur. Dengan
mencuatnya semburan lumpur di wilayah Sidoarjo itu adalah merupakan
tanda pula yang mengandung amanah bahwa pemimpin negeri ini diharuskan
membangun dan menggelar 5 (lima) “Candi” di berbagai tempat yang telah
ditentukan. Kelima Candi tersebut sejatinya adalah wujud dari 5 (lima)
Kedhaton Pajajaran, yaitu : Sri Bima (Pasundan) – Punta (Sumatera) –
Narayana (Jawa Pawatan) – Madura (Madura) – Suradipati (Nusa Paneda).
Amanah ini mengandung spirit “Semangat Penyatuan Majapahit – Pajajaran”,
karena sejatinya Pajajaran (Sunda Galuh) adalah leluhur tua dari
Majapahit. Upaya ini sebagai tindakan meruwat dan melukat tataran
Nusantara seisinya sekaligus wujud nyata bagi “pemutihan” Perang Bubat,
dengan sandi spiritual : Kembang SERUNI. Persembahan Kembang SERUNI
inilah merupakan prasyarat memasuki jaman baru (Kalasuba) bagi
terwujudnya Kejayaan Nusantara.
Untuk kesekian kalinya agar bangsa ini tak keliru memandang
keberadaan “Candi” yang telah menjadi stigma leluhur Nusantara, maka
sejatinya Candi adalah sebuah “tetenger” (simbol tanda) yang sarat
dengan hakekat nyata maupun tak nyata (kegaiban) yang diartikan dalam
makna keterkinian adalah sebagai “wawaCAN Diri” (bacaan diri). Lambang
CanDi dari kacamata tassawuf bermakna : “man arofa nafsahu faqad arofa
robbahu” (mengenal diri (segala nafsu) maka mengenal Allah). Jadi Candi
bukanlah tempat ibadah bagi golongan agama atau kepercayaan tertentu,
namun merupakan wahana universal bagi upaya penempuhan spiritualitas
yang dimaksudkan guna pencapaian peningkatan kesadaran jiwa manusia.
Candi adalah sama hakekatnya dengan Piramid. Keberadaan Candi pada
masanya masing-masing diperuntukkan bagi perlindungan, keselamatan dan
kesejahteraan kerajaan dan rakyatnya. Dibangunnya Candi pun berdasarkan
petunjuk niskala (kadewatan) yang diperoleh para Resi/pertapa yang
diwujudkan oleh sang Raja/Ratu pada masa kerajaan masing-masing.
Sehingga hakekat kegaiban keberadaan bangunan Candi di lokasi tertentu
sebenarnya memiliki energi yang sangat tinggi atau daya prana luar biasa
yang bersifat kekal. 500 tahun lebih bangsa ini sebagai anak cucu
leluhur Nusantara telah melupakan Candi. Semua ini adalah akibat
masuknya pengaruh ajaran dan budaya barat (datang dari luar Nusantara)
yang sama sekali tak mengenal dan tak mau mengerti bahkan akhirnya
menghancurkan seluruh budaya yang semestinya tetap tumbuh di bumi
pertiwi Nusantara ini. Sangat wajar kiranya jika kini bangsa dan negeri
ini mengalami carut marut akibat degradasi moral yang semakin parah
karena disebabkan telah kehilangan “Jati Diri”nya sendiri. Suku-suku
etnis pada bangsa ini masing-masing secara dominan telah meninggalkan
dan bahkan tak mau mengenal lagi adat budayanya masing-masing dengan
segala tata kramanya yang berlandaskan pada budi pekerti. Sangat ironis
memang, karena sadar atau tidak sadar kita telah berubah karakter
menjadi bangsa lain yang sejatinya kita telah menjadi “kafir” sendiri,
yaitu mengingkari ketetapan (ayat) Tuhan bahwa kita telah terlahir
sebagai suku tertentu dengan adat budayanya masing-masing dalam wadah
kesatuan bangsa Indonesia, berbahasa Indonesia dan bertanah air
Indonesia.

Di masa peralihan jaman yang ditandai pula dengan menjelang masa
pergantian kepemimpinan nasional, maka di tahun 2012 ini menjadi titik
krusial yang sangat strategis bagi mewujudnya Gapura Mas SRI BIMA di
bumi Pasundan. Sehingga beberapa peristiwa jatuhnya pesawat di bumi
Pasundan memberikan isyarah yang sangat kuat bagi lahirnya kembali
Kedhaton SRI BIMA yang berwujud Gapura Mas ini. Pesawat Sukhoi yang
jatuh di wilayah Gunung Salak, di Kampung Batu Tapak, Cidahu, Bogor
telah menjadi tanda panah yang teramat mahal nilainya. Berbicara Gunung
Salak tak bisa lepas dengan keberadaan Gunung Halimun. Maka bukan
kebetulan secara fisiknya disatukan sebagai sebuah wilayah yang kita
kenal dengan “Taman Nasional Gunung Halimun – Salak”. Dari dimensi
kegaiban wilayah ini merupakan wilayah “kerajaan gaib” yang sangat
wingit (angker). Belum lagi formasi Segitiga Bermuda Gunung Salak –
Gunung Halimun – Gunung Gede Pangrango, yang sangat erat hubungannya
dengan wilayah laut selatan yang dilambangkan dengan Pelabuan Ratu –
Karanghawu. Maka dari fenomena jatuhnya pesawat Sukhoi di lokasi itu
memberikan arah tanda panah ke Batu Tapak Purnawarman yang masih berada
di wilayah Bogor. Dari nama beliau yaitu Sri Baginda Maha Raja
Purnawarman Bima Prakarma Sang Iswara Surya Maha Purusa Jagat Pati, maka
terdapat lapis hakekat bahwa beliau disebut juga SRI BIMA. Sebagai
titisan Wishnu dan menyandang nama Sang Iswara Surya (Dewa Matahari)
maka beliau Purnawarman bisa juga disebut Kresna (Narayana; Nar = Cahaya
api, Ra = Matahari, Yana = Ajaran, atau yang mengajarkan ajaran
Matahari). Fenomena ini sangat terhubung dengan jatuhnya pesawat Cessna
di wilayah Gunung Ciremai, Kuningan. Kata Cessna menunjuk pada istilah
Kresna, dan wilayah kaki Gunung Ciremai menunjuk keberadaan Kedhaton SRI
BIMA di masa lalu yang merupakan lambang wilayah “Cakra Buana”. Dan
“Kuningan” merupakan tujuan dan harapan kita bersama yaitu melambangkan
masa keemasan. Namun perlu diingat bahwa sebelum mencapai Kuningan, kita
semua harus melalui Galungan Agung (Galunggung) yaitu proses dimana
akan tercapai kemenangan Dharma (kebenaran/kebaikan) atas Adharma
(keburukan). Sedangkan jatuhnya pesawat Fokker di kompleks Rajawali,
Halim Perdanakusumah merupakan isyarah yang menunjuk ke Gunung Halim(un)
sebagai tempat yang akan mengawali merebaknya wewangian memasuki Jaman
Kalasuba. Wewangian yang merebak dan datang dari seorang Raja Wali
(silahkan menjadi perenungan sendiri bagi pembaca siapakah beliau
sejatinya ?).
Isyarah tentang “Kebangkitan Majapahit” di balik fenomena Semburan
Lumpur Lapindo di Sidoarjo bukanlah berarti bahwa kita akan kembali ke
era kerajaan seperti dahulu kala. Namun dari kacamata hakekat mengandung
makna bahwa negeri ini akan menjadi sejahtera (Sidoarjo), untuk itu
semua kekotoran yang terpendam selama ini karena sengaja ditutupi, akan
ditumpas habis. Dan daya semesta akan berjalan selaras dengan itu,
sehingga tak ada seorang manusiapun yang mampu menghalangi. Daya
Kebangkitan Majapahit sebagai perlambang yang akan mampu merubah segala
carut marut yang terjadi kurun waktu ini. Hal ini mengandung makna bahwa
jika kita ingin kembali mengobarkan semangat MAJAPAHIT, tentu kita
semua harus MAu JAlan PAHIT. Dan untuk bisa MAju dan JAya maka harus
berani PAHIT. Merajut kembali Nusantara, berarti harus kembali merajut
Majapahit, yaitu menghubungkan kembali secara hakekat mata rantai yang
terputus (missing link). Keberadaan Majapahit terakhir adalah Majapahit
di Daha di bawah pemerintahan Girindrawardhana (Dyah Ranawijaya) tahun
1486 – 1527 yang memiliki ayah bernama Suraprabawa
(Singhawikramawardhana), memerintah tahun 1466 – 1474. Inilah isyarah di
balik fenomena Semburan Lumpur Lapindo yang ada di wilayah Daha di masa
lalu, jika kita kaitkan dengan masalah kepemimpinan nasional. Kata
sandinya adalah GIRINDRAwardhana yang memiliki bapak SuraPRABAWA.
Girindra berarti Raja Gunung atau bermakna sangat kokoh dan kuat,
sedangkan Wardhana bermakna anugerah dari Sang Pencipta atau yang
menyebabkan berlebih. Sura berarti orang yang kuat memahami yang nyata
dan tak nyata (fisik dan metafisik), sedangkan Prabawa bermakna pancaran
kewibawaan atau kharismatik. Jangan memandang ungkapan ini secara
syari’at atau lahiriah yang tertulis, namun hakekat karakter pemimpin
inilah yang dibutuhkan negeri ini yang akan mampu membersihkan
“kekotoran” negeri ini. Mampu menjadi LAPINDO yang bermakna LAP adalah
kain pembersih atau Alap-Alap (penyikat) INDOnesia, sehingga mampu
membersihkan dari segala yang kotor. Karakter pemimpin inilah yang
dibutuhkan negeri ini ke depan sehingga mampu membawa bangsa ini kembali
memasuki Gapura Mas menuju Kejayaan Nusantara seperti yang telah
dirintis oleh Gajah Mada Maha Patih Majapahit ketika itu. Siapapun sosok
itu dan siapapun namanya.. Dari Majapahit kembali menuju Pajajaran,
yang pada akhirnya terwujud situasi yang sejajar diantara keberagaman
yang ada. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Tak ada diskriminasi
antara satu dengan yang lainnya dengan nafas saling menghormati, beradab
dan berkeadilan.
Ya.. Kata kuncinya adalah “kembali” (Sangkan paraning dumadi /
Innalillahi wa inna illaihi roji’un), kembali ke Jati Diri bangsa
sejatinya, kembali kepada adat budaya dan ajaran leluhur yang
berlandaskan budi pekerti di tengah keberagaman dan keniscayaan yang
ada. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang berani untuk mengajak
bangsanya kembali untuk mendapatkan rasa “Percaya Diri” yang kuat
seperti yang telah dibuktikan oleh para leluhur kita terutama Soekarno,
Gajah Mada, dan Purnawarman. Sosok pemimpin yang terbukti Gagah dan
Berani di dunia yang di dalam dadanya terpatri MERAH PUTIH dan GARUDA
PANCASILA. Di balik apa yang telah diungkap di atas dengan segala
hakekatnya, kata kunci yang paling utama adalah melaksanakan syari’atnya
Hakekat untuk mempersembahkan Kembang SERUNI kepada Ibu Pertiwi.
Semut-semut Hitam sebagai lambang “wong cilik” yang sadar akan dharma
bakti bagi negeri ini akan terus berjalan berusaha mempersembahkan dan
mewujudkan Gapura Mas SRI BIMA di Pasundan, Candi PUNTA di Sumatera, dan
Candi MADURA di Madura, sebagai ungkapan do’a dengan harapan semoga apa
yang diharapkan oleh para Leluhur Nusantara dan yang terbaik bagi
seluruh rakyat negeri ini bisa terwujud berdasarkan PANCASILA.
Sekilas uraian di atas adalah merupakan upaya mengkemas dimensi
fenomena misteri kegaiban Nusantara yang sangat rumit dan pelik dengan
berusaha membaca “kasunyatan” yang ada berupa peristiwa-peristiwa nyata
yang terjadi di seputaran Nusantara. Hal ini mengandung hikmah dan
perenungan agar kita semua tidak terjebak pada upaya penalaran atau
logika semata. Ada hal yang lebih hak lagi daripada urusan lahiriah yang
dilambangkan dengan pikiran (otak), yaitu dimensi jiwa atau batiniah
(gaib) berlandaskan Ke-Tuhan-an (Tauhid) yang sejatinya menghidupi sisi
lahiriah.
“Cancut Tali Wondho.. Rawe-rawe Rantas, Malang-malang Putung.. Jangan tanya apa yang bisa kita dapatkan dari negeri ini, tapi tanyalah apa yang bisa kita berikan untuk negeri ini.. Sampai titik darah penghabisan kita persembahkan bagi IBU PERTIWI.” (Soekarno)
Salam MERAH PUTIH…
JAYALAH NEGERIKU, TEGAKLAH GARUDAKU,
JAYALAH NUSANTARAKU…
Semarang, Sabtu Pahing (Ukir) – 7 Juli 2012
Sumber : https://nurahmad.wordpress.com