Menyibak Tabir Misteri Nusantara

Hasil kajian spiritual bapak Tri Budi Marhaen
Darmawan berusaha saya pahami dengan “rasa naluri” yang mendalam dengan
tanpa mengabaikan logika berpikir sehat. Memang banyak hal sulit
ditelusuri melalui referensi buku-buku sejarah atau dengan bukti-bukti
empiris yang ada, namun dengan semangat menguak tabir misteri untuk
lebih memahami fenomena yang terjadi saat ini, maka segala sesuatunya
yang dapat saya cerna berusaha saya ungkapkan secara sederhana apa
adanya di dalam blog ini. Ibarat mencari mata rantai yang hilang (missing link),
nampaknya misteri yang ditinggalkan pasca keruntuhan Majapahit (500
tahun yang lalu) mulai terlihat secara samar-samar. Sayapun mulai
memahami apa makna yang tersirat dari saran bapak Tri Budi Marhaen
Darmawan kepada SBY di dalam Surat Terbukanya kepada SBY sbb :
”Kumpulkanlah ahli-ahli Thoriqoh negeri ini
yaitu mursyid/syeh-syeh yang telah mencapai maqom ma’rifat “Mukasyafah”,
Pedanda-pedanda sakti agama Hindu, Bhiksu-bhiksu agama Budha yang telah
sempurna, serta kasepuhan waskito dari Keraton Jogja, Solo &
Cirebon, untuk bersama-sama memohon petunjuk kepada Allah SWT mencari
siapa sosok orang yang mampu mengatasi keadaan ini dan mencari jawab
dari misteri ramalan para leluhur di atas. Gunakan 4 point panduan saya
untuk memandu mereka. Insya Allah, jika Allah Azza wa Jalla memberikan
ijin dan ridho-Nya akan diketemukan jawabannya.”
Walaupun Surat Terbuka tersebut tidak mendapat
tanggapan dari yang bersangkutan presiden SBY, namun saya memiliki
keyakinan bahwa beliau bapak Tri Budi Marhaen Darmawan “mengetahui”
banyak hal tentang fenomena jagad nusantara ini. Tanpa berniat
mengundang perdebatan, semoga ungkapan saya dapat menjadi bahan
perenungan kita bersama guna menyongsong fajar kejayaan Nusantara yang
kita cintai. Saya berharap, apabila ada komentar-komentar yang masuk
dari para blogger, mohon dilandasi dengan sikap penuh ketulusan dan
tawadhu’ jauh dari rasa riya’ dan ujub.
Memahami Makna Karya Warisan Leluhur Nusantara
Terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih kepada
bapak Tri Budi Marhaen Darmawan atas pemberian referensi-referensinya
berupa naskah : Bait-bait syair terakhir Ramalan Joyoboyo, Kitab Musarar
Joyoboyo, Uga Wangsit Siliwangi, Serat Darmagandhul, dan Ramalan
Ronggowarsito. Setelah saya membaca dan berusaha memahami dengan segala
perenungan, maka sayapun menjadi takjub dibuatnya akan karya-karya
beliau para leluhur kita. Antara satu dengan lainnya walaupun berbeda
masa/periode yang jauh berselang, namun ternyata di dalam perlambangnya
memiliki saling keterkaitan. Suatu perlambang dalam suatu karya menunjuk
kepada perlambang atau karakter yang lain di dalam karya leluhur yang
berbeda. Saya merasakan bahwa tanpa intervensi kemampuan spiritual yang
tinggi akan sangat sulit memahami keterkaitan perlambang-perlambang ini.
Dan fenomena ini membuktikan bahwa hanya dengan mengandalkan akal
penalaran saja akan mengantarkan kita kepada jalan buntu. Akhirnya
menyerah pada keputusasaan dengan menganggap bahwa ini semua merupakan
sekedar ramalan yang tidak berguna. Masing-masing orang bisa saja
menafsirkan hal tersebut dengan penafsiran yang berbeda-beda. Tidak ada
yang melarang. Bebas-bebas saja. Benar tidaknya kembali kepada diri kita
masing-masing. Inilah tabir misteri. Kebenaran sejati adanya di dalam
nurani yang suci dan bersih. Dalam blog ini referensi-referensi tersebut
dapat dibaca secara lengkap pada kolom Wasiat Nusantara.
Uga Wangsit Siliwangi
Saya akan mengawali dengan menandai suatu masa yang dikatakan dalam naskah Wangsit Siliwangi sbb :
“Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala!”
(“Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan raja dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan raja; penguasa baru susah dianiaya!”)
Saya akan mengawali dengan menandai suatu masa yang dikatakan dalam naskah Wangsit Siliwangi sbb :
“Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala!”
(“Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan raja dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan raja; penguasa baru susah dianiaya!”)
Inilah Soekarno presiden pertama NKRI. Ibunda
Soekarno adalah Ida Ayu Nyoman Rai seorang putri bangsawan Bali.
Ayahnya seorang guru bernama Raden Soekeni Sosrodihardjo. Namun dari penelusuran secara spiritual, ayahanda Soekarno sebenarnya adalah Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X. Nama kecil Soekarno adalah Raden Mas Malikul Koesno. Beliau termasuk “anak ciritan” dalam lingkaran kraton Solo. (Silakan dibuktikan..)
Lalu pada alinea menjelang akhir dikatakan :
”Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.”
(”Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? nanti, saat munculnya pemuda gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh pemuda gendut! sebabnya bertengkar? memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.”)
”Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.”
(”Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? nanti, saat munculnya pemuda gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh pemuda gendut! sebabnya bertengkar? memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.”)
Kalau kita perhatikan dengan cermat alinea
ini, maka memang saat ini seluruh rakyat sedang berharap-harap menunggu
datangnya mujizat di tengah-tengah carut marut yang sedang berlangsung
di negeri ini. Lebih-lebih utamanya rakyat korban lumpur Lapindo yang
kian hari kian sengsara. Dan akhir-akhir ini banyak terjadi kasus
perebutan tanah di mana-mana di tataran wilayah nusantara. Fenomena ini
ditandai dengan kasus Pasuruan baru-baru ini yang membawa 4 korban
tewas.
Dalam mengkaji Wangsit Siliwangi ini kita
akan menemui lelakon atau pemeran utama yang dikatakan dengan istilah
“pemuda gembala” (budak angon) dan “pemuda berjanggut” (budak
janggotan). Coba mari kita simak alinea berikut :
”Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!”
(”Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!”)
Dimanakah Lebak Cawéné ? Lebak Cawéné adalah
suatu lembah seperti cawan, yang dikatakan di dalam Kitab Musarar
Joyoboyo sebagai Gunung Perahu. Tempat itu digambarkan sebagai suatu
lembah atau bukit dimana permukaannya cekung seperti tertumbuk perahu
besar. Dikatakan oleh bapak Tri Budi Marhaen Darmawan, secara gambaran
spiritual, di tempat itu terdapat 2 sumber air besar dan ditandai dengan
3 pohon beringin (Ringin Telu).
Lanjutnya :
”Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!”
”Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!”
(”Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, carilah pemuda gembala. Segeralah pergi, ingat jangan menoleh kebelakang!”)
Perlambang gagak berkoar di dahan mati
bermakna situasi dimana banyak suara-suara tanpa arti. Rakyat
menjerit-jerit, penguasa mengumbar janji-janji kosong. Sedangkan negara
digambarkan banyak ditimpa bencana. Lalu, siapakah ”budak
angon” itu ? Dari bait tersebut diperlambangkan bahwa budak angon adalah
orang sunda atau berdarah sunda. Hal ini akan kita bedah lagi setelah
sampai pada kesimpulan setelah kita mengkaji karya-karya leluhur
lainnya.
Kitab Musarar Jayabaya
Di dalam naskah inipun saya akan mengawali dengan menandai suatu masa atau periode dalam Sinom bait 18 yang berbunyi :
”Dene jejuluke nata, Lung gadung rara nglikasi, Nuli salin gajah meta, Semune tengu lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuhing bebendu, Kelem negaranira, Kuwur tataning negari, Duk semana pametune wong ing ndesa.”
Di dalam naskah inipun saya akan mengawali dengan menandai suatu masa atau periode dalam Sinom bait 18 yang berbunyi :
”Dene jejuluke nata, Lung gadung rara nglikasi, Nuli salin gajah meta, Semune tengu lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuhing bebendu, Kelem negaranira, Kuwur tataning negari, Duk semana pametune wong ing ndesa.”
(”Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki. Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan. Waktu itu pajaknya rakyat adalah..”)
Lung gadung rara nglikasi
memiliki makna yaitu pemimpin yang penuh inisiatif (cerdas) namun
memiliki kelemahan mudah tergoda wanita. Perlambang ini menunjuk kepada
presiden pertama RI, Soekarno. Sedangkan Gajah meta semune tengu lelaki
bermakna pemimpin yang kuat karena disegani atau ditakuti namun
akhirnya terhina atau nista. Perlambang ini menunjuk kepada presiden
kedua RI, Soeharto. Dalam bait ini juga dikatakan bahwa negara selama 60
tahun menerima kutukan sehingga tidak ada kepastian hukum. Ingat, usia
kemerdekaan NKRI saat ini menjelang 62 tahun.
Dalam bait 20 dikatakan :
”Bojode ingkang negara, Narendra pisah lan abdi, Prabupati sowang-sowang, Samana ngalih nagari, Jaman Kutila genti, Kara murka ratunipun, Semana linambangan, Dene Maolana Ngali, Panji loro semune Pajang Mataram.”
”Bojode ingkang negara, Narendra pisah lan abdi, Prabupati sowang-sowang, Samana ngalih nagari, Jaman Kutila genti, Kara murka ratunipun, Semana linambangan, Dene Maolana Ngali, Panji loro semune Pajang Mataram.”
(”Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka. Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram.”)
Bait ini menggambarkan situasi negara yang
kacau. Pemimpin jauh dari rakyat, dan dimulainya era baru dengan apa
yang dinamakan otonomi daerah sebagai implikasi bergulirnya reformasi
(Jaman Kutila). Karakter pemimpinnya saling jegal untuk saling
menjatuhkan (Raja Kara Murka). Perlambang Panji loro semune Pajang – Mataram
bermakna ada dua kekuatan pimpinan yang berseteru, yang satu
dilambangkan dari trah Pajang (Joko Tingkir), dan yang lain dilambangkan
dari trah Mataram (Pakubuwono). Hal ini menunjuk kepada era Gus Dur dan
Megawati.
Lalu pada bait 21 tertulis :
”Nakoda melu wasesa, Kaduk bandha sugih wani, Sarjana sirep sadaya, Wong cilik kawelas asih, Mah omah bosah-basih, Katarajang marga agung, Panji loro dyan sirna, Nuli Rara ngangsu sami, Randha loro nututi pijer tetukar.”
”Nakoda melu wasesa, Kaduk bandha sugih wani, Sarjana sirep sadaya, Wong cilik kawelas asih, Mah omah bosah-basih, Katarajang marga agung, Panji loro dyan sirna, Nuli Rara ngangsu sami, Randha loro nututi pijer tetukar.”
(”Nakhoda ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu, randha loro nututi pijer tetukar.”)
Situasi negara dalam bait ini digambarkan
bahwa kekuatan asing memiliki pengaruh yang sangat besar. Orang arif dan
bijak dilambangkan tidak berdaya. Kondisi rakyat makin sengsara saja.
Perlambang Rara ngangsu, randha loro nututi pijer tetukar
bermakna seorang pemimpin wanita yang selalu diintai oleh dua saudara
wanitanya seolah ingin menggantikan. Perlambang ini menunjuk kepada
Megawati, presiden RI kelima yang selalu dibayangi oleh Rahmawati dan
Sukmawati.
Pada bait 22 dikatakan :
”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih, Lajengipun sinung lambang, Dene Maolana Ngali, Samsujen Sang-a Yogi, Tekane Sang Kala Bendu, Ing Semarang Tembayat, Poma den samya ngawruhi, Sasmitane lambang kang kocap punika.”
”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih, Lajengipun sinung lambang, Dene Maolana Ngali, Samsujen Sang-a Yogi, Tekane Sang Kala Bendu, Ing Semarang Tembayat, Poma den samya ngawruhi, Sasmitane lambang kang kocap punika.”
(”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.”)
Perlambang Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih
bermakna pemimpin yang tidak sempat mengatur negara karena direpotkan
dengan berbagai masalah. Ini menunjuk kepada presiden RI keenam saat ini
yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan perlambang Semarang Tembayat merupakan tempat dimana seseorang memahami dan mengetahui solusi dari apa yang terjadi. Semarang Tembayat
merupakan tempat yang masih misteri dimana di dalam Surat Terbuka
kepada SBY bapak Tri Budi Marhaen Darmawan menggambarkan sbb :
”Jawaban dan solusi guna mengatasi
carut marut keadaan bangsa ini ada di “Semarang Tembayat” yang telah
diungkapkan oleh Prabu Joyoboyo. Guna membantu memecahkan misteri ini
dapatlah saya pandu sebagai berikut :
- Sunan Tembayat adalah Bupati pertama Semarang. Sedangkan tempat yang dimaksud adalah lokasi dimana Kanjeng Sunan Kalijaga memerintahkan kepada Sunan Tembayat untuk pergi ke Gunung Jabalkat (Klaten). Secara potret spiritual, lokasi itu dinamakan daerah “Ringin Telu” (Beringin Tiga), berada di daerah pinggiran Semarang.
- Semarang Tembayat juga bermakna Semarang di balik Semarang. Maksudnya adalah di balik lahir (nyata), ada batin (gaib). Kerajaan gaib penguasa Semarang adalah “Barat Katiga”. Insya Allah lokasinya adalah di daerah “Ringin Telu” itu.
- Semarang Tembayat dapat diartikan : SEMARANG TEMpatnya BArat DaYA Tepi. Dapat diartikan lokasinya adalah di Semarang pinggiran arah Barat Daya.”
Kemudian pada bait 27 berbunyi :
”Dene besuk nuli ana, Tekane kang Tunjung putih, semune Pudhak kasungsang, Bumi Mekah dennya lair, Iku kang angratoni, Jagad kabeh ingkang mengku, Juluk Ratu Amisan, Sirep musibating bumi, Wong nakoda milu manjing ing samuwan,”
(“Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang. Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.”)
”Dene besuk nuli ana, Tekane kang Tunjung putih, semune Pudhak kasungsang, Bumi Mekah dennya lair, Iku kang angratoni, Jagad kabeh ingkang mengku, Juluk Ratu Amisan, Sirep musibating bumi, Wong nakoda milu manjing ing samuwan,”
(“Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang. Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.”)
Perlambang Tunjung putih semune Pudak kasungsang
memiliki makna seorang pemimpin yang masih tersembunyi berhati suci dan
bersih. Inilah seorang pemimpin yang dikenal banyak orang dengan nama
“Satrio Piningit”. Lahir di bumi Mekah merupakan perlambang bahwa
pemimpin tersebut adalah seorang Islam sejati yang memiliki tingkat
ketauhidan yang sangat tinggi.
Sedangkan bait 28 tertulis :
”Prabu tusing waliyulah, Kadhatone pan kekalih, Ing Mekah ingkang satunggal, Tanah Jawi kang sawiji, Prenahe iku kaki, Perak lan gunung Perahu, Sakulone tempuran, Balane samya jrih asih, Iya iku ratu rinenggeng sajagad.”
(“Raja utusan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa. Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.”)
Bait ini menggambarkan bahwa pemimpin tersebut
adalah hasil didikan/tempaan seorang waliyullah (aulia) yang juga selalu
tersembunyi. Berkedaton di Mekah dan Tanah Jawa merupakan perlambang
yang bermakna bahwa pemimpin tersebut selain ber-Islam sejati namun juga
berpegang teguh pada kawruh Jawa (ajaran leluhur Jawa). Sedangkan
gunung Perahu seperti telah disinggung di atas adalah Lebak
Cawéné. Kembali lagi, dimana tempatnya ? Kita telah membaca bait 22 di
atas. Ya di Semarang Tembayat itu tempatnya. Sedangkan tempuran adalah
pertemuan dua sungai di muara yang biasanya digunakan untuk tempat
bertirakat ”kungkum” bagi orang Jawa. Namun disini tempuran bermakna
”watu gilang” sebagai tempat pertemuan alam fisik dan alam gaib. Dalam
kebudayaan Jawa keberadaan watu gilang sangat lekat dengan eksistensi
seorang raja. Insyaallah.. Pemimpin tersebut akan mampu memimpin
nusantara ini dengan baik, adil dan membawa kepada kesejahteraan rakyat,
serta menjadikan nusantara sebagai ”barometer dunia” (istilah Bung
Karno : ”negara mercusuar”).
Bait-Bait Terakhir Ramalan Joyoboyo
Dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo digambarkan suasana negara yang kacau penuh carut marut serta terjadi kerusakan moral yang luar biasa. Namun dengan adanya fenomena tersebut kemudian digambarkan munculnya seseorang yang arif dan bijaksana yang mampu mengatasi keadaan. Berikut adalah cuplikan bait-bait tersebut yang menggambarkan ciri-ciri atau karakter seseorang itu :
Dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo digambarkan suasana negara yang kacau penuh carut marut serta terjadi kerusakan moral yang luar biasa. Namun dengan adanya fenomena tersebut kemudian digambarkan munculnya seseorang yang arif dan bijaksana yang mampu mengatasi keadaan. Berikut adalah cuplikan bait-bait tersebut yang menggambarkan ciri-ciri atau karakter seseorang itu :
159.
selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu; bakal ana dewa ngejawantah; apengawak manungsa; apasurya padha bethara Kresna; awatak Baladewa; agegaman trisula wedha; jinejer wolak-waliking zaman; …
(selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun (akhir Kalabendu, menjelang Kalasuba); akan ada dewa tampil; berbadan manusia; berparas seperti Batara Kresna; berwatak seperti Baladewa; bersenjata trisula wedha; tanda datangnya perubahan zaman; …)
selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu; bakal ana dewa ngejawantah; apengawak manungsa; apasurya padha bethara Kresna; awatak Baladewa; agegaman trisula wedha; jinejer wolak-waliking zaman; …
(selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun (akhir Kalabendu, menjelang Kalasuba); akan ada dewa tampil; berbadan manusia; berparas seperti Batara Kresna; berwatak seperti Baladewa; bersenjata trisula wedha; tanda datangnya perubahan zaman; …)
160.
…; iku tandane putra Bethara Indra wus katon; tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa
(…; itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak; datang di bumi untuk membantu orang Jawa)
…; iku tandane putra Bethara Indra wus katon; tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa
(…; itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak; datang di bumi untuk membantu orang Jawa)
162.
…; bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis; tan kasat mata, tan arupa; sing madhegani putrane Bethara Indra; agegaman trisula wedha; momongane padha dadi nayaka perang perange tanpa bala; sakti mandraguna tanpa aji-aji
(…; pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar tak kelihatan, tak berbentuk; yang memimpin adalah putra Batara Indra, bersenjatakan trisula wedha; para asuhannya menjadi perwira perang; jika berperang tanpa pasukan; sakti mandraguna tanpa azimat)
…; bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis; tan kasat mata, tan arupa; sing madhegani putrane Bethara Indra; agegaman trisula wedha; momongane padha dadi nayaka perang perange tanpa bala; sakti mandraguna tanpa aji-aji
(…; pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar tak kelihatan, tak berbentuk; yang memimpin adalah putra Batara Indra, bersenjatakan trisula wedha; para asuhannya menjadi perwira perang; jika berperang tanpa pasukan; sakti mandraguna tanpa azimat)
163.
apeparap pangeraning prang; tan pokro anggoning nyandhang; ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang; …
(bergelar pangeran perang; kelihatan berpakaian kurang pantas; namun dapat mengatasi keruwetan banyak orang; …)
apeparap pangeraning prang; tan pokro anggoning nyandhang; ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang; …
(bergelar pangeran perang; kelihatan berpakaian kurang pantas; namun dapat mengatasi keruwetan banyak orang; …)
164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong
(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada dibawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong
(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada dibawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)
166.
idune idu geni; sabdane malati; sing mbregendhul mesti mati; ora tuwo, enom padha dene bayi; wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada; garis sabda ora gentalan dina; beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira; tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa; nanging inung pilih-pilih sapa
(ludahnya ludah api, sabdanya sakti (terbukti), yang membantah pasti mati; orang tua, muda maupun bayi; orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi; garis sabdanya tidak akan lama; beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta menaati sabdanya; tidak mau dihormati orang se tanah Jawa; tetapi hanya memilih beberapa saja)
idune idu geni; sabdane malati; sing mbregendhul mesti mati; ora tuwo, enom padha dene bayi; wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada; garis sabda ora gentalan dina; beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira; tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa; nanging inung pilih-pilih sapa
(ludahnya ludah api, sabdanya sakti (terbukti), yang membantah pasti mati; orang tua, muda maupun bayi; orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi; garis sabdanya tidak akan lama; beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta menaati sabdanya; tidak mau dihormati orang se tanah Jawa; tetapi hanya memilih beberapa saja)
167.
waskita pindha dewa; bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira; pindha lahir bareng sadina; ora bisa diapusi marga bisa maca ati; wasis, wegig, waskita; ngerti sakdurunge winarah; bisa pirsa mbah-mbahira; angawuningani jantraning zaman Jawa; ngerti garise siji-sijining umat; Tan kewran sasuruping zaman
(pandai meramal seperti dewa; dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggah anda; seolah-olah lahir di waktu yang sama; tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati; bijak, cermat dan sakti; mengerti sebelum sesuatu terjadi; mengetahui leluhur anda; memahami putaran roda zaman Jawa; mengerti garis hidup setiap umat; tidak khawatir tertelan zaman)
waskita pindha dewa; bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira; pindha lahir bareng sadina; ora bisa diapusi marga bisa maca ati; wasis, wegig, waskita; ngerti sakdurunge winarah; bisa pirsa mbah-mbahira; angawuningani jantraning zaman Jawa; ngerti garise siji-sijining umat; Tan kewran sasuruping zaman
(pandai meramal seperti dewa; dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggah anda; seolah-olah lahir di waktu yang sama; tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati; bijak, cermat dan sakti; mengerti sebelum sesuatu terjadi; mengetahui leluhur anda; memahami putaran roda zaman Jawa; mengerti garis hidup setiap umat; tidak khawatir tertelan zaman)
168.
mula den upadinen sinatriya iku; wus tan abapa, tan bibi, lola; awus aputus weda Jawa; mung angandelake trisula; landheping trisula pucuk; gegawe pati utawa utang nyawa; sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan; sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda
(oleh sebab itu carilah satria itu; yatim piatu, tak bersanak saudara; sudah lulus weda Jawa; hanya berpedoman trisula; ujung trisulanya sangat tajam; membawa maut atau utang nyawa; yang tengah pantang berbuat merugikan orang lain; yang di kiri dan kanan menolak pencurian dan kejahatan)
mula den upadinen sinatriya iku; wus tan abapa, tan bibi, lola; awus aputus weda Jawa; mung angandelake trisula; landheping trisula pucuk; gegawe pati utawa utang nyawa; sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan; sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda
(oleh sebab itu carilah satria itu; yatim piatu, tak bersanak saudara; sudah lulus weda Jawa; hanya berpedoman trisula; ujung trisulanya sangat tajam; membawa maut atau utang nyawa; yang tengah pantang berbuat merugikan orang lain; yang di kiri dan kanan menolak pencurian dan kejahatan)
170.
ing ngarsa Begawan; dudu pandhita sinebut pandhita; dudu dewa sinebut dewa; kaya dene manungsa; …
(di hadapan Begawan; bukan pendeta disebut pendeta; bukan dewa disebut dewa; namun manusia biasa; …)
ing ngarsa Begawan; dudu pandhita sinebut pandhita; dudu dewa sinebut dewa; kaya dene manungsa; …
(di hadapan Begawan; bukan pendeta disebut pendeta; bukan dewa disebut dewa; namun manusia biasa; …)
171.
aja gumun, aja ngungun; hiya iku putrane Bethara Indra; kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan; tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh; hiya siji iki kang bisa paring pituduh marang jarwane jangka kalaningsun; tan kena den apusi; marga bisa manjing jroning ati; ana manungso kaiden ketemu; uga ana jalma sing durung mangsane; aja sirik aja gela; iku dudu wektunira; nganggo simbol ratu tanpa makutha; mula sing menangi enggala den leluri; aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu; beja-bejane anak putu
(jangan heran, jangan bingung; itulah putranya Batara Indra; yang sulung dan masih kuasa mengusir setan; turunnya air brajamusti pecah memercik; hanya satu ini yang dapat memberi petunjuk tentang arti dan makna ramalan saya; tidak bisa ditipu; karena dapat masuk ke dalam hati; ada manusia yang bisa bertemu; tapi ada manusia yang belum saatnya; jangan iri dan kecewa; itu bukan waktu anda; memakai lambang ratu tanpa mahkota; sebab itu yang menjumpai segeralah menghormati; jangan sampai terputus, menghadaplah dengan patuh; keberuntungan ada di anak cucu)
aja gumun, aja ngungun; hiya iku putrane Bethara Indra; kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan; tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh; hiya siji iki kang bisa paring pituduh marang jarwane jangka kalaningsun; tan kena den apusi; marga bisa manjing jroning ati; ana manungso kaiden ketemu; uga ana jalma sing durung mangsane; aja sirik aja gela; iku dudu wektunira; nganggo simbol ratu tanpa makutha; mula sing menangi enggala den leluri; aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu; beja-bejane anak putu
(jangan heran, jangan bingung; itulah putranya Batara Indra; yang sulung dan masih kuasa mengusir setan; turunnya air brajamusti pecah memercik; hanya satu ini yang dapat memberi petunjuk tentang arti dan makna ramalan saya; tidak bisa ditipu; karena dapat masuk ke dalam hati; ada manusia yang bisa bertemu; tapi ada manusia yang belum saatnya; jangan iri dan kecewa; itu bukan waktu anda; memakai lambang ratu tanpa mahkota; sebab itu yang menjumpai segeralah menghormati; jangan sampai terputus, menghadaplah dengan patuh; keberuntungan ada di anak cucu)
172.
iki dalan kanggo sing eling lan waspada; ing zaman kalabendu Jawa; aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa; cures ludhes saka braja jelma kumara; aja-aja kleru pandhita samusana; larinen pandhita asenjata trisula wedha; iku hiya pinaringaning dewa
(inilah jalan bagi yang ingat dan waspada; pada zaman kalabendu Jawa; jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa; yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga; jangan keliru mencari dewa; carilah dewa bersenjata trisula wedha; itulah pemberian dewa)
iki dalan kanggo sing eling lan waspada; ing zaman kalabendu Jawa; aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa; cures ludhes saka braja jelma kumara; aja-aja kleru pandhita samusana; larinen pandhita asenjata trisula wedha; iku hiya pinaringaning dewa
(inilah jalan bagi yang ingat dan waspada; pada zaman kalabendu Jawa; jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa; yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga; jangan keliru mencari dewa; carilah dewa bersenjata trisula wedha; itulah pemberian dewa)
173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti
(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi)
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti
(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi)
Sampai di sini kita akan dapat mulai memahami
siapakah yang dikatakan oleh Joyoboyo dengan istilah Putra Betara Indra
itu ? Bait-bait tersebut telah mengurai secara rinci tentang ciri-ciri
dan karakter orang tersebut. Putra Betara Indra tidak lain dan tidak
bukan adalah Waliyullah (aulia) yang tertulis di dalam sinom bait 28
pada Kitab Musarar Joyoboyo. Perlambang paras Kresna dan watak Baladewa
bermakna satria pinandhita. Karena hakekat dua bersaudara Kresna dan
Baladewa (Krishna Balarama) melambangkan kepribadian Tuhan Yang Maha
Esa. Dimana Kresna melambangkan pencipta, sedangkan Baladewa
melambangkan potensi kreativitas-Nya. Dua bersaudara Kresna dan Baladewa
menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai penggembala sapi. Dengan
hakekat ini setidaknya kita dapat meraba bahwa Putra Betara Indra adalah
juga Pemuda Gembala (budak angon) yang telah dikatakan oleh Prabu
Siliwangi di dalam Uga Wangsit Siliwangi.
Ramalan Tujuh Satrio Piningit Ronggowarsito
Di dalam ramalan Ronggowarsito dipaparkan ada tujuh satrio piningit yang akan muncul sebagai tokoh yang dikemudian hari akan memerintah atau memimpin wilayah seluas wilayah “bekas” kerajaan Majapahit , yaitu : Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu.
Di dalam ramalan Ronggowarsito dipaparkan ada tujuh satrio piningit yang akan muncul sebagai tokoh yang dikemudian hari akan memerintah atau memimpin wilayah seluas wilayah “bekas” kerajaan Majapahit , yaitu : Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu.
Selain masing-masing satrio itu menjadi ciri-ciri
dari masing-masing pemimpin NKRI pada setiap masanya (seperti yang
tertulis di dalam Surat Terbuka kepada SBY), ternyata tujuh satrio
piningit itu melambangkan tujuh sifat yang menyatu di dalam diri seorang
pandhita yang telah kita tahu adalah Putra Betara Indra = Waliyullah =
Pemuda Gembala (budak angon) seperti telah diungkap di atas. Sifat-sifat
itu bisa kita urai sbb :
- Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro
melambangkan orang yang sepanjang hidupnya terpenjara namun namanya harum mewangi. Sifat ini hanya dimiliki oleh orang yang telah menguasai Artadaya (ma’rifat sebenar-benar ma’rifat). Diberikan anugerah kewaskitaan atau kesaktian oleh Allah SWT, namun tidak pernah menampakkan kesaktiannya itu. Jadi sifat ini melambangkan orang berilmu yang amat sangat tawadhu’. - Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar
melambangkan orang yang kaya akan ilmu dan berwibawa, namun hidupnya kesandung kesampar, artinya penderitaan dan pengorbanan telah menjadi teman hidupnya yang setia. Tidak terkecuali fitnah dan caci maki selalu menyertainya. Semua itu dihadapinya dengan penuh kesabaran, ikhlas dan tawakal. - Satrio Jinumput Sumelo Atur
melambangkan orang yang terpilih oleh Allah SWT guna melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjalankan missi-Nya. Hal ini dibuktikan dengan pemberian anugerah-Nya berupa ilmu laduni kepada orang tersebut. - Satrio Lelono Topo Ngrame
melambangkan orang yang sepanjang hidupnya melakukan perjalanan spiritual dengan melakukan tasawuf hidup (tapaning ngaurip). Bersikap zuhud dan selalu membantu (tetulung) kepada orang-orang yang dirundung kesulitan dan kesusahan dalam hidupnya. - Satrio Hamong Tuwuh
melambangkan orang yang memiliki dan membawa kharisma leluhur suci serta memiliki tuah karena itu selalu mendapatkan pengayoman dan petunjuk dari Allah SWT. Dalam budaya Jawa orang tersebut biasanya ditandai dengan wasilah memegang pusaka tertentu sebagai perlambangnya. - Satrio Boyong Pambukaning Gapuro
melambangkan orang yang melakukan hijrah dari suatu tempat ke tempat lain yang diberkahi Allah SWT atas petunjuk-Nya. Hakekat hijrah ini adalah sebagai perlambang diri menuju pada kesempurnaan hidup (kasampurnaning ngaurip). Dalam kaitan ini maka tempat yang ditunjuk itu adalah Lebak Cawéné = Gunung Perahu = Semarang Tembayat.
- Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu
melambangkan orang yang memiliki enam sifat di atas. Sehingga orang tersebut digambarkan sebagai seorang pandhita atau alim ulama yang selalu mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Maka hakekat Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu adalah utusan Allah SWT atau bisa dikatakan seorang aulia (waliyullah).
KESIMPULAN SEMENTARA
Dari apa yang telah saya ungkapkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sementara sebagai berikut :
- Satrio Piningit Pinandhita Sinisihan Wahyu yang diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito (1802 – 1873) adalah Pemuda Gembala (budak angon) yang dikatakan oleh Prabu Siliwangi (1482 – 1521) di dalam wangsitnya, juga adalah Putra Betara Indra (waliyullah) seperti yang telah ditulis oleh Joyoboyo (1135 – 1157). Dengan tafsir warisan karya leluhur tersebut di atas, dapat digambarkan bahwa seseorang yang dikatakan Satrio Pinandhita itu adalah orang Islam berdarah sunda namun menguasai dan memegang teguh kawruh (ajaran/ilmu) Jawa. Dan orang tersebut memiliki 7 sifat satrio di atas yang telah melebur di dalam dirinya.
- Lokasi yang dikatakan Lebak Cawéné oleh Prabu Siliwangi adalah juga Gunung Perahu menurut Joyoboyo, dan tempatnya di Semarang Tembayat seperti juga telah diungkapkan oleh Joyoboyo. Ditambahkan dengan gambaran spiritual menurut bapak Tri Budi Marhaen Darmawan di atas, maka tempat itu memiliki ciri-ciri terdapat 2 sumber air besar, 3 pohon beringin, dan keberadaan watu gilang. Diperkirakan tempat itu di pinggiran kota Semarang arah barat daya.
Mengapa saya katakan sebagai kesimpulan sementara ? Karena kesimpulan akhir ada pada tulisan : Menelisik Misteri Sabdo Palon. Selamat membaca…
Sumber : https://nurahmad.wordpress.com